EXO Fanfiction Dorm

EXO as the Main Cast

Your Brother

Leave a comment

Your Brother

Your Brother

 

By : Febby Fatma

Friendship, Family, Drama, Since of Life

Oneshoot

PG12

Main Cast

Kim Jongin / Kai EXO

Gong Chansik / Gongchan B1A4

Hong Jisoo / Joshua Hong SEVENTEEN

Support Cast

Kim Namjoon / Rap Monster BTS

Yuta Nakamoto SM Rookies

Taemin SHINee

Mina AOA

Naeun APink

Wendy Red Velvet

Tasha SKarf

Mark Got7

Tao EXO

“Kalian tahu?”

“Apa-apa?”

“Ada mahasiswa pertukaran pelajar yang akan masuk kelompok belajar kita lagi.”

“Kali ini dari mana?”

“L.A.”

“Wow~”

Chansik mendesah mendengar itu. Buku yang sejak tadi dia baca dia tutup hingga menimbulkan suara keras. Membuat mata teman-temannya mengarah pada dia yang duduk di pojok tempat kumpul mereka.

“Kenapa?”

“Kalian berisik.” Sahut Chansik kesal.

Jongin yang duduk tepat di hadapan Chansik menggeleng dan tersenyum melihat reaksi sahabatnya. Teman satu kelompok mereka terlihat mengalah pada Chansik dengan mudah.

Tidak. Mereka lebih terlihat takut pada Chansik hari ini.

“Kalian pikir mengajarkan persamaan matematika pada mahasiswa yang hanya tahu bahasa kita dari internet itu mudah? Aku butuh ketenangan dan konsentrasi lebih.”

Brak!

Buku yang tadi Chansik tutup kasar sekarang dia banting. Dia melenggang pergi setelah itu. Meninggalkan tanda tanya besar di kepala teman-teman satu kelompoknya.

“Ada apa dengan anak itu?” Mina di sisi lain meja mereka mengarahkan matanya pada Jongin. Meminta laki-laki yang berstatus sahabat Chansik itu menjawab.

“Mana aku tahu.” Jongin justru mengendikan bahunya dan mengarahkan pandangannya pada teman-teman kelompok mereka yang lain.

Dalam diamnya Jongin menahan senyum yang ingin kembali muncul di wajahnya. Melihat sikap sahabat baiknya itu Jongin yakin dengan pasti kalau ada hal besar yang terjadi hari ini. Dan mungkin itu akan sangat menyenangkan untuk dia tonton nanti.

“Kelompok kita sudah punya Mark, Tao, Tasha, Wendy dan Yuta. Sekarang siapa lagi?” Naeun, gadis termuda yang gabung dalam kelompok belajar mereka bertanya pada Mina. Dia tampak penasaran dengan kelanjutan informasi yang Mina bawa tadi.

“Ah, dia seumuran dengan Yuta. Namanya Joshua Hong.”

“Dia keturunan Korea?” Mina menangguk menjawab pertanyaan Taemin yang asik bersandar di bawah dengan Tablet PC di tangannya. Bermain dengan Namjoon di sana. “Berarti dia bukan beban berat.”

“Yah bisa di bilang begitu.”

Jongin mengambil buku Chansik yang tergeletak di meja begitu saja. Buku tentang pembahasan matematika untuk mahasiswa jurusan desain grafis semester lima itu tampak baik walau sudah diperlakukan kasar oleh pemiliknya.

Mereka salah satu dari perkumpulan mahasiswa yang ditunjuk untuk membantu kelompok belajar anak-anak pertukaran pelajar dari luar negeri. Membantu mereka memahami bahan kuliah yang disampaikan dan memahami kebiasaan orang Korea.

Yah, anggap saja kelompok belajar biasa yang mengajar kelompok belajar lain.

“Perkenalkan dirimu. Mereka teman-teman satu kelasmu nanti.”

Jongin yang mempersilahkan laki-laki yang katanya bernama Joshua itu untuk berdiri di depan semua orang dalam kelompok mereka.

“Aku Hong Jisoo. Dari L.A. Mohon bantuannya.” Kemudian anak itu menunduk.

“Ini Mark Tuan dari Taiwan, Tasha Low dari Singapore, Hwang Zi Tao dari China, Wendy Son dari California dan Yuta Nakamoto dari Jepang.”

Satu persatu dari nama yang Taemin sebutkan menunduk memberi salam pada Jisoo. Tapi tiba-tiba saja Wendy yang duduk di dekat Chansik mengangkat tangannya.

“American Name-mu Joshua Hong. Benarkan?” Jisoo mengangguk. “Kalau begitu aku akan memanggilmu Joshua saja. Iyakan Tasha unni?”

Jisoo menatap Jongin di sisinya bingung. Jongin tahu anak itu pasti berpikir kalau nama Korea-nya jauh lebih baik di pakai di saat seperti ini. Tapi, “Tidak apa-apa. Mereka punya kebudayaan yang hampir sama denganmu.” Katanya sambil merangkul Jisoo akrab.

“Tapi,” kali ini Naeun di samping Taemin yang mengintrupsi. “Bukannya dia tampak mirip dengan Chansik oppa?”

Semua mata langsung mengarah pada Chansik yang justru sibuk dengan bukunya. Hari ini laki-laki itu tampak cuek pada teman-temannya. Dia menunjukan dengan jelas kalau mood-nya sedang tidak baik. Menunjukan perisai besar bertuliskan ‘Jangan Ganggu Aku’ di hadapan teman-temannya.

“Iya juga.” Namjoon langsung bangun dan menarik Chansik berdiri ke depan teman-temannya. Menyejajarkan laki-laki itu dengan teman baru mereka. “Mereka benar-benar mirip.”

Jisoo yang berdiri di samping Chansik hanya diam menatap seniornya itu. Tapi Chansik tampak lebih seram kali ini. Dengan kasar dia melepaskan diri dari Namjoon dan berjalan kembali ke tempatnya.

“Tidak apa-apa. Dia hanya ada sedikit masalah hari ini.” Bisik Jongin pada Jisoo.

“Ada apa denganmu hari ini?” Jongin merangkul Chansik akrab saat anak itu berjalan sendiri setelah acara belajar kelompok mereka selesai. “Ayahmu telat mengirip uang kuliah lagi?”

“Aku sedang malas membahasnya.” Chansik menurunkan tangan Jongin yang merangkulnya. Dia bersikap lebih dingin lagi kali ini.

“Atau ibumu mengatakan sesuatu lagi?”

“Aku bilang aku sedang tidak ingin membahasnya!” Jongin berhenti saat tiba-tiba saja Chansik membentaknya. Melihat reaksi Chansik yang lebih keras setelah pertanyaan ketiganya itu Jongin sudah dapat jawaban pasti.

“Ah, baiklah.” Katanya malas. Jongin sengaja jalan sedikit ke belakang dari Chansik. Mungkin dua langkah di belakang anak itu. Dia hanya ingin membiarkan Chansik sendiri saat ini.

Mengenal seorang Gong Chansik sejak SMA membuat Jongin tidak kaget lagi dengan reaksi berlebihan Chansik seperti tadi. Itu sudah biasa. Bahkan bisa di bilang sering terjadi.

Hanya saja kali ini seperti ada yang salah. Biasanya Chansik hanya menunjukan sifat aneh itu pada Jongin dan Taemin. Tapi hari ini dia membiarkan semuanya melihat betapa kelam auranya saat bad mood.

“Menurutmu si anak L.A itu bagaimana?” Chansik tidak menjawabnya. Tidak aneh. Anak itu tadi habis membentak Jongin. “Dia tidak begitu buruk dalam bahasa. Saat aku ajarkan sejarah masa Kerajaan Joseyo dia menyimaknya dengan baik. Mungkin orang tuanya memang membiasakannya belajar bahasa Korea.”

Chansik masih diam. Buku panduan mengajar bahasa yang anak itu baca tampak lebih menarik dibandingkan wajah Jongin.

“Dan dia benar-benar terlihat seperti kau saat SMA dulu.” Kali ini Chansik berhenti dan menoleh pada Jongin. Matanya menatap Jongin tajam. Tampak tidak suka dengan apa yang Jongin katakan tadi.

“Jangan samakan aku dengannya. Kami jauh berbeda!” Itu terdengar seperti amarah yang meledak. Tapi Jongin hanya diam memandang Chansik yang semakin jauh darinya.

Anak itu sudah begitu dari dulu. Dia punya tempramental yang buruk saat bad mood-nya datang. Tapi dia punya sisi lain yang jauh lebih menyenangkan dari orang lain yang pernah Jongin kenal selama ini.

Setidaknya itu alasan terbesar Jongin tetap berada di sisi Chansik, bahkan setelah dapat teriakan penuh amarah seperti tadi.

“Kau bisa satu kamar dengan Yuta. Karena kalian seumuran, aku rasa akan lebih baik dari pada kau dapat kamar dengan Mark atau Tao.” Jisoo mengangguk pada Namjoon yang mengantarnya ke kamar asrama universitas mereka.

Kebetulan asrama untuk mahasiswa luar adanya tidak begitu jauh dari asrama mahasiswa lokal. Jadi dengan mudah anggota kelopok belajar mereka membantu teman-teman internasional mereka.

“Kalau kau butuh apa-apa, kau bisa cari kami di gedung sebelah barat taman itu.” Lagi Jisoo mengangguk pada Namjoon yang membimbingnya.

Beruntung memang Jisoo bergabung dengan kelompok belajar ini. Karena selain mereka sabar, mereka juga sangat baik. Yah, walau rasanya ada satu orang mungkin bermasalah dengan kehadirannya.

“Anu,” Jisoo menahan tangan Namjoon yang hendak meninggalkannya di depan kamar asrama. “Boleh aku tanya satu hal?”

“Apa?”

Jisoo melepas pegangannya dari Namjoon membuat mereka saling berhadapan. “Yang tadi terlihat marah itu Gong Chansik sunbae, kan?”

Namjoon mengiyakan dengan sebuah anggukan kepala. “Kenapa?”

“Boleh aku tahu nomor telponnya?”

“Untuk apa?”

“Ah itu. Aku sedikit kesulitan memahami persamaan matematika dengan bahasa Korea. Aku ingin bertanya lebih dengannya.” Jisoo memamerkan giginya setelah jawaban yang terdengar aneh tadi.

“Oh, baiklah.” Namjoon membuka ponselnya dan meminta nomor Jisoo untuk dia kirimi vcard Chansik. “Sudah?”

Jisoo mengiyakan dan menunduk terima kasih pada Namjoon. Membiarkan senior yang satu kelompok belajar dengannya itu pergi sebelum dia masuk ke dalam kamar yang katanya akan dia bagi dengan teman seangkatannya bernama Yuta tadi.

Jongin sedang berjalan santai sendirian di taman malam itu. Tadi Chansik menolaknya untuk pergi bersama. Yah, untuk sekedar saling mengobrol di taman saja. Tapi anak itu menolaknya dengan sungguh-sungguh sebelum dia pergi meninggalkan Jongin sendiri.

Belakangan ini hubungan Jongin dan Chansik sedikit kaku. Chansik menjaga jaraknya pada semua orang yang ada di kelompok. Tidak seperti dia yang biasanya. Anak itu benar-benar tampak tidak suka dengan kehadiran Jisoo.

Sudah satu bulan sejak anak L.A itu datang dan bergabung dengan kelompok belajar mereka. Tapi sekalipun Chansik tidak mau mengajarnya. Dia selalu memerintah Namjoon atau Taemin untuk mengurus Jisoo.

“Tapi kalau dipikir-pikir mereka punya banyak kemiripan.” Jongin mendudukan diri di salah satu bangku taman yang tepat berada di tepi jalan setapak tadi.

Taman ini cukup besar untuk sebuah taman yang letaknya di dalam area sebuah universitas. Tapi justru itu yang membuat taman ini istimewa.

Karena bukan hanya semak bunga, air mancur di tengah taman, dan bangku taman yang ada di sana. Tapi pohon-pohon rindang yang memberi kesan sejuk saat siang, dan tanah rumput yang luas di bawah pohon-pohon itu.

Saat malam, lampu penerangan di taman itu justru membuatnya tampak seperti set untuk shooting drama romance.

Ini tempat favorite Jongin dan Chansik untuk bercerita tentang teman-temannya yang lain. Taemin juga termasuk dalam daftar itu. Karena kalau boleh Jongin jujur, Chansik lebih mudah mengerti ceritanya ketimbang Taemin yang bahkan sudah dia kenal sejak SMP. Tiga tahun lebih dulu dari saat dia mengenal Chansik.

“Hyung!”

Jongin menoleh dan mencari asal suara itu. Tapi tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Dan Jongin tidak begitu yakin itu panggilan untuknya. Hanya dia rasa dia mengenal suara itu.

“Sudah aku bilang jangan menemui aku lagi.”

Kali ini Jongin yakin dia menengal suara itu. Setelah bangun dan jalan perlahan dia menemukan dua laki-laki yang tampak beradu mulut di belakang salah satu semak bunga.

Semak itu lumayan tinggi, dan bisa menutupi mereka dari pandangan Jongin tadi.

“Tolong jangan seperti ini.”

“Cih, kau bersujud pun aku tidak akan perduli.”

Jongin hendak menghampiri mereka tapi langkahnya tertahan saat mendengar satu dari mereka kembali buka suara.

“Ibu benar-benar mencemaskanmu, hyung.” Mendengar itu Jongin memilih untuk tetap bersembunyi di salah satu semak bunga lain. Matanya memperhatikan mereka dan kupingnya berusahan memperjelas apa yang sedang mereka bicarakan.

“Kenapa ibumu mencemaskan aku? Kau ini lucu juga, Jisoo-ssi.”

Jisoo yang lebih pendek beberapa senti dari lawan bicara itu tampak kaku mendengar cara bicara yang dingin tadi.

“Hyung,” Jisoo menahan dia yang hendak pergi meninggalkannya. “Ibu benar-benar minta maaf. Dia benar-benar menyesal. Tidak bisakah kau sedikit memberinya jalan?”

“Aku sudah punya ibu sekarang Jisoo-ssi. Dia ibu yang baik, ibu yang tidak akan meninggalkan anaknya hanya untuk pria lain yang lebih kaya dari ayahku. Ibu yang menjagaku dan merawat aku dengan baik.” Dan tangan Jisoo yang menahannya dia hentakan keras-keras. Membuat Jisoo yang tidak siap terhuyung ke belakang.

“Bagaimanapun, kau tidak bisa mengingkari kalau dia juga ibumu.”

Jongin menahan napasnya dan berusaha untuk memperjelas perkataan lain Jisoo setelah itu. Tapi suara anak itu justru semakin lirih.

Yang Jongin tahu tiba-tiba saja Chansik yang sudah menjauh dari tempat Jisoo berdiri kembali berbalik. Dengan langkah lebar dia mendekati Jisoo dan merengkuh kerah anak laki-laki itu hingga Jisoo terjinjing.

“Coba katakan sekali lagi!” Jisoo dalam rengkuhan Chansik terlihat mengatakan sesuatu sambil tersenyum sinis. Lalu, “Brengsek!”

Jisoo terjatuh karena tinju Chansik. Anak itu menutupi pipinya yang terkena tinju. Tapi Jongin bisa melihat ada bercak merah di bibir Jisoo.

“Jangan pernah membela wanita itu di hadapanku lagi.” Dan kali ini Chansik benar-benar pergi. Dia meninggalkan Jisoo yang terduduk memegang pipinya. Tinju Chansik tadi terlihat sangat kuat. Tidak aneh jika itu merobek ujung bibir Jisoo.

Setelah Chansik benar-benar hilang dari sana Jongin mendekati anak itu. Di kepalanya ada begitu banyak pertanyaan yang bertebar tentang Chansik dan Jisoo. Tentang hubungan keduanya.

“Kau baik-baik saja?”

“Ah, ya aku baik-baik saja, sunbae.” Jongin memberi tangannya dan membantu Jisoo berdiri.

“Sunbae mendengar semuanya?”

“Hah?”

“Aku tahu Jongin sunbae berdiri di belakang semak itu tadi.” Jisoo menunjuk semak tempat Jongin bersembunyi tadi. “Tapi aku tidak tahu sejak kapan sunbae ada di sana.”

“Aku baru melihatnya saat Chansik meninjumu tadi.” Jisoo tersenyum penuh arti padanya. Jongin tahu anak itu sadar kalau dia berbohong. Tapi saat ini akan lebih baik jika dia berbohong.

“Ada apa? Kenapa dia sampai seperti itu padamu?”

“Sunbae tahu pasti apa yang terjadi.” Jisoo menunduk memberinya salam dan pamit pergi meninggalkannya.

Anak itu membuat Jongin menebak-nebak apa yang anak itu katakan hingga Chansik meninjunya.

Jongin tahu pasti kawan baiknya itu bukan tipe yang akan melayangkan tinju untuk sesuatu yang tidak begitu penting. Bahkan untuk seseorang yang sudah menjelek-jelekan dia di depan banyak orang dulu, tinju itu tidak dia tunjukan. Jadi jika tinjunya dia tunjukan, itu mungkin masalah yang serius.

Sampai di asrama Jongin langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Memandang langit-langit kamar itu dan mulai mencerna apa yang tadi dia lihat. Mencernanya perlahan, memahaminya perlahan.

Dan Jongin mendapat jawaban yang sama seperti sebelum dia mencernanya.

Hong Jisoo itu adik Gong Chansik.

Tapi kenapa Chansik tampak tidak suka dengan adiknya? Masalah apa yang ada di masa lalu mereka berdua?

Tiba-tiba saja Jongin penasaran dengan semua itu. Karena setahu Jongin, Chansik adalah anak satu-satunya. Tidak pernah Jongin dengar kalau ibu Chansik yang selama ini dia temui adalah ibu tiri sahabatnya. Dia bahkan tidak pernah merasa jika Chansik tampak seperti anak tiri wanita itu.

“Dia memang tidak punya keharusan untuk menceritakan ini padaku.” Tapi setidaknya Jongin merasa dia perlu tahu tentang hal besar ini. Dia tidak bisa diam saja jika sahabatnya mulai bertingkah aneh. Terlebih pada keluarga dari sahabatnya sendiri.

“Atau setidaknya berikan alasan.” Agar Jongin tetap berada di sisi Chansik dan membenarkan apa yang Chansik lakukan. Walau meninju wajah adik sendiri seperti tadi bukan hal yang bisa Jongin katakan benar.

Memang masuk akal jika Chansik menjadi kakak Jisoo. Mereka mirip, bukan hanya wajah tapi suara, kebiasaan, dan cara pandang mereka. Dan yang lebih hebat, mereka bisa menyembunyikan fakta itu dengan baik. Mereka kompak!

“Tapi apa yang Jisoo katakan hingga Chansik semarah tadi?” Gambaran saat Chansik merengkuh kerah Jisoo setelah dan berteriak kata Berengsek tadi membuat Jongin merasa ada yang aneh. Dia bahkan meninju Jisoo yang adalah adiknya.

Chansik bukan pemarah. Bukan orang yang mudah tersulut emosinya. Bukan orang yang akan mengatakan kata kasar sekalipun dia marah. Dan sekali lagi Jongin yakinkan kalau sahabatnya itu bukan tipe yang mudah melayangkan tinju.

Gerakan bibir Jisoo saat mengulang kalimat yang membuat Chansik meninju Jisoo terlalu sulit dia tiru. Terlihat semerti dia berbicara dengan gigi terkatup.

“Ah sudahlah.” Jongin memejamkan matanya. Dia akan memikirkannya lagi besok.

“Chansik!” Chansik menoleh dan mendapati Jongin berjalan mendekatinya dengan santai. Sahabat baiknya itu tampak lebih putih hari ini. Ada pancaran aneh yang wajah Jongin tunjukan padanya.

“Kau mau ke ruangan kita, kan?” Chansik mengangguk dan mulai melangkah lagi setelah Jongin menyejajarinya. “Bagaimana bad mood-mu? Sudah lebih baik.”

“Yah, setidaknya aku masih baik-baik saja pagi ini. Kenapa memang?” Jongin menggeleng dan merangkulnya akrab seperti biasa.

Saat memasuki area kampus mereka, Jongin melihat Jisoo dan Yuta keluar dari area asrama pelajar asing. Dia memanggil keduanya dan sengaja melirik pada Chansik saat itu.

Jisoo yang dipanggil jelas mendekat. Anak itu tampak tidak perduli dengan apa yang terjadi padanya tadi malam. “Pagi, Sunbaenim.” Sapanya.

“Kalian mau ke ruang kelompok atau ada kuliah pagi ini?” Chansik yang masih Jongin rangkul juga mulai bersikap dingin lagi pada mereka di sana. Jongin sadar itu. Tapi pagi ini Jongin hanya ingin Chansik sedikit membuka diri pada Jisoo.

Bagaimanapun, Jisoo itu adiknya.

“Ah, kami ada kegiatan club pagi ini. Kenapa memangnya?” Yuta di samping Jisoo mengangguk membenarkan jawaban Jisoo pada Jongin.

“Oh, kau ikut club rupanya. Aku baru tahu.” Jisoo mengiyakan dan melirik pada Chansik yang nampak tidak suka. Dengan matanya Jisoo memberi sinya pada Jongin untuk menyudahi percakapan tidak berguna itu. Tapi Jongin justru melakukan sebaliknya.

“Club apa?”

“Kami ikut Club Acoustic.” Kali ini Yuta yang menjawabnya. “Jisoo ini pandai sekali mengaransemen lagu apapun menjadi lagu akustik yang lebih tenang.”

“Oh benarkah itu?” Mata Jongin tampak mengejek Jisoo yang memintanya menyudahi percakapan mereka. “Chansik juga lumayan pintar untuk itu.”

Chansik menoleh karena kebohongan itu. Memberi Jongin tatapan membunuh karena mengatakan sesuatu seperti itu.

“Permainan pianonya juga bagus.” Kali ini bukan kebohongan. Tapi bukan berarti dia bebas membicarakan Chansik di depan dua orang itu. Jongin akan dalam bahaya habis ini. Itu janji Chansik dalam hatinya.

“Aku duluan saja.” Chansik melepas rangkulan Jongin dan berjalan begitu saja. Dia membuat Jongin menggeleng dan terkekeh melihat sikap kekanan itu.

Baik, Jongin memang tidak mengerti apa masalah Chansik dan Jisoo sebenarnya. Tapi bersikap seolah semua orang menyebalkan untuknya membuat Jongin kesal pada Chansik. Jadi wajar jika Jongin katakan sahabatnya itu kekanakan.

“Ya sudah, kalian pergilah ke club. Lain kali kita mengobrol lagi.” Jongin berlalu dan mengejar Chansik lagi. Mengaitkan tangannya di leher Chansik lagi. Dia bersikap seolah semua baik-baik saja walau nyatanya dia tahu Chansik mulai bad mood lagi.

“Waw, kau lumayan pintar juga ya.” Jongin berseru dan membuat semua mata yang ada di ruang khusus kelompok belajar mereka mengarah padanya. “Lihat, Jisoo bisa mengerjakan tugas aneh yang Dosen Lee beri padaku.”

Jongin menunjukan buku penuh dengan rumus dan persamaan, jawaban dari tugas yang dia maksud. Hari ini Jongin memang kebagian membantu Jisoo. Tapi dia justru dapat kejutan lebih dari anak itu.

“Kau dan Chansik adalah mahasiswa tercerdas yang pernah aku kenal.” Jisoo dan Jongin sama-sama mengarahkan mata mereka pada Chansik yang duduk bersandar di pojok berhadapan dengan Mark. Chansik tampak tidak perduli pada apa yang Jongin katanya.

Tapi, “Itu kau saja yang bodoh.” Kalimat itu meluncur keluar dari mulut dia yang tampak tidak perduli. “Dan, aku ingatkan sekali lagi,” mata Chansik mentap Jongin tajam. “Jangan samakan aku dengan siapapun. Itu menyebalkan.”

Susah payah Jongin menjaga ekspresinya. Menahan senyum dan tawa yang sudah ingin meledak dari dalam dirinya.

“Biar saja. Yang penting sekarang aku menemukan mesin penjawab tugas matematika yang baru.” Jongin merangkul Jisoo akrab. Berharap Chansik akan mengalihkan padanya pada mereka. “Iyakan, Joshua-ssi?”

“Ah itu, tolong panggil aku Jisoo saja.”

“Iya-iya. Aku paham.”

Jongin masih memperhatikan sahabatnya di pojok. Chansik bersikap dingin lagi.

Tapi tidak apa-apa, yang penting sudah ada kemajuan dan Jongin jadi tahu akan sesuatu.

Chansik tidak bisa bersikap tidak perduli padanya. Anak itu akan tetap memberi respon jika Jongin yang berbicara. Yah, walau hanya sekali dan sinis.

“Kau ada acara?” Chansik duduk mendekati Jongin saat kuliah mereka hari itu selesai. “Aku ingin menghilangkan stress.”

“Ah maaf. Aku ada janji dengan Jisoo siang ini.” Lagi, Jongin terpaksa pasang pokerface-nya. Menahan senyum atau tawa itu sulit. Apalagi saat ada sesuatu yang seperti sedang menggelitik hatimu. Percayalah, Jongin merasakan itu beberapa hari belakangan ini.

Chansik mendesah dan bersandar di samping Jongin. “Belakangan ini kau sibuk dengan anak itu terus.”

“Tidak apa-apakan? Yang terpenting aku tidak mengajak kau bergabung dengan acara kami. Iyakan?” Chansik mengangguk malas. Dia tidak kaget jika Jongin tahu kalau dirinya tidak suka dengan keberadaan Jisoo.

“Ajak saja Taemin. Sesekali kau harus membiarkan anak itu belajar mendengar keluhanmu.” Chansik hanya diam dan membiarkan Jongin meninggalkannya saat Jisoo datang.

Menyebalkan memang. Tapi Chansik harus mengakui kalau dia mulai cemburu karena sahabatnya mulai sibuk dengan orang lain. Apa lagi ‘orang lain’ itu adalah Hong Jisoo.

“Hyung, Jongin hyung!”

“Hah? Kau sudah selesai?” Jongin mengusap wajahnya agar lebih sadar. Dia tertidur lagi.

“Kalau hyung mau kembali ke asrama duluan silahkan. Aku tidak apa-apa ditinggal sendiri.” Jongin menggeleng dan tersenyum memamerkan giginya. Dia masih tampak mengantuk tapi berusaha keras untuk tetap menemani Jisoo.

“Kau selesaikan saja dulu lagu-lagumu itu.” Katanya sambil merubah posisi menjadi bersandar pada tembok. “Aku lebih suka ada di sini. Mendengar kau bermain gitar dan tertidur.”

Jisoo kembali duduk di tempat awalnya. Gitar yang sempat dia taruh kembali dia pangku. “Berhentilah berbohong, hyung. Kau pikir aku ini gadis polos yang baru pertama kali jatuh cinta? Aku tidak akan tersanjung hanya karena itu.”

Jongin terkekeh mendengar perumpamaan anak itu. “Haha, kau benar-benar seperti Gong Chansik. Kalian terlalu mirip untuk hanya sepasang adik-kakak yang tidak akur.”

“Benarkah? Aku tidak pernah merasa punya kesamaan dengan Chansik hyung.” Jisoo kembali menainkan gitarnya. Memetik senarnya dan mulai merangkai ulang nada dari sebuah lagu terkenal.

“Kalian punya banyak persamaan dan perbedaan. Tapi justru itu yang membuatku berpikir kalau kalian lebih baik jika diberi takdir sebagai anak kembar.”

Permainan Jisoo berhenti, gitar yang dia mainkan di pangkuannya kini menjadi tempat tangannya bersandar. “Memangnya seperti apa Chansik hyung itu?”

Nada bicara anak itu berubah. Ada rasa pahit yang terselip di kata-katanya.

“Sejak kecil aku sudah di pisahkan darinya. Aku mengenalnya, tapi tidak pernah berani mendekatinya. Aku mengaguminya tapi tidak berani mengatakannya. Aku seperti Secret Admirer-nya.” Dan tawa terpaksa anak itu membuat Jongin menatap dia dalam diam.

Rasa pahit tadi semakin jelas terasa oleh Jongin.

“Chansik itu orang yang pendiam di suatu waktu dan cerewet di lain waktu.” Perkataan itu mengalir dengan sendirinya. “Dia sangat sabar tapi jika sudah marah kau tahu apa yang akan terjadi.” Jisoo mengangguk. Dalam otak mereka sama-sama mengingat bagaimana Chansik meninju Jisoo malam itu.

“Setia kawan, manja, dan penurut. Dia itu tipe orang yang tidak bisa dijadikan leader tapi bisa mengarahkan seorang leader agar menjadi leader yang baik.” Beberapa gambaran tentang Chansik semasa SMA dulu muncul di kepala Jongin. “Pintar matematika, bermain piano dan buruk jika harus bernyanyi dengan falseto.”

Jongin tertawa karena keterangan terakhirnya. Dia selalu mengatakan itu pada Chansik dulu. “Jangan bernyanyi dengan falseto. Kau buruk dalam hal itu.” Itu adalah hal yang pasti mereka berdua ingat hingga kini.

“Yah seperti itulah. Aku tidak tahu yang lain karena aku hanya mengenalnya sejak SMA, jadi sebelum itu aku tidak tahu tentangnya.” Jisoo meletakan gitarnya. Anak itu menggumamkan kata iri yang membuat Jongin kasihan padanya.

“Tapi terima kasih sudah memberitahukan itu. Sekarang aku merasa sedikit mengenal kakakku.” Entahlah, ada sesuatu dalam diri Jongin yang ingin membawa Chansik ke tempat itu dan memerintah sang sahabat mendengar perkataan Jisoo tadi. “Aku jadi ingin lebih lama berada di sini. Sayangnya waktuku hanya tinggal dua bulan lagi.”

Jongin ikut mendesah karena itu. Masa pertukaran pelajar Jisoo hanya enam bulan. Dan selama empat bulan berada di sana Chansik selalu memusuhinya.

“Kenapa kau tidak tinggal di sini?” Jongin sadar itu pertanyaan lancang. Tapi bibirnya mengatakan itu tanpa berpikir.

“Aku tidak bisa membiarkan ibuku tinggal sendiri di L.A. Dia sudah meninggalkan satu putranya untuk suaminya, dia sudah cukup kesepian.”

“Kau kesini untuk itu? Untuk memberi tahu Chansik hal itu?”

Jisoo menggeleng. “Aku datang untuk melihatnya. Untuk mengenal kakakku. Dan aku sungguh bersyukur karena aku bisa ada sedekat ini padanya setiap hari.”

Berada dalam ruangan yang sama, mendengar suaranya, melihat ekspresinya, memperhatikan kebiasaannya, juga mengaguminya. Itu sudah cukup untuk seorang Hong Jisoo.

Tapi Jongin ingin Jisoo mendapatkan lebih. Jongin pikir, setidaknya untuk adik yang sudah lama tidak bertemu sang kakak dan jauh-jauh datang menyeberangi laut Jisoo harusnya dapat yang lebih dari sedekar menjadi Secret Admirer Chansik.

Menjadi kakak Jisoo yang sesungguhnya, atau sekedar teman main seperti yang lain. Setidaknya Jisoo harus dapat perlakuan itu dari Chansik.

“Oh ya, aku penasaran apa yang kau katakan pada Chansik sampai dia meninjumu.”

Jisoo menunduk dan mengusap tengkuknya. Anak itu tampak malu-malu dan telihat semakin mirip dengan sang kakak. “Aku keterlaluan malam itu. Aku bilang kalau dia hanya pengecut yang bisanya menyalahkan ibu kami.”

Jongin mengangguk paham. Itu kalimat yang provokatif memang. Tapi tunggu, kenapa juga Chansik marah karena kalimat seperti itu? Dia pernah dapat yang kebih kasar sebelumnya. Lebih provokatif. Tapi dia tidak sampai mengeluarkan tinju.

Sesaat Jongin terdiam tapi kemudian dia tersenyum. Otaknya memberi jawaban masuk akal dan Jongin yakin jawaban itu benar.

“Ada apa?” Chansik duduk di bangku taman yang sama dengan Jongin. Itu tempat mereka biasa bercerita. Tapi dua bulan terakhir mereka tidak bisa ke sana. Jongin terlalu sibuk dengan Jisoo. “Kau tidak menemani anak itu malam ini?”

“Tidak.” Sahut Jongin ringan. “Kenapa? Kau cemburu karena aku lebih dekat dengannya?”

Chansik terlihat memasang sikap jual mahal. Tangan laki-laki itu terlipat di depan dadanya. Wajahnya dia buat sedingin mungkin. “Kau pikir aku ini anak TK?”

Dalam hati Jongin mengiyakan pertanyaan itu. “Lalu?”

“Sudahlah lupakan itu. Ada apa tiba-tiba meminta bertemu di sini?” Jongin memainkan ponsel di tangannnya. Memutar-mutar benda itu dan memberi sela yang lumayan terasa antara pertanyaan Chansik dengan jawabannya.

“Hanya ingin memastikan kalau kau masih sahabatku atau bukan.”

Reaksi Chansik yang kaget dan bingung membuat seulas senyum tergaris di bibir Jongin. “Kau ingat? Aku pernah bilang kalau sahabat itu sudah seperti saudara bagiku.” Chansik mengangguk.

“Tapi apa jadinya jika sahabat yang sudah aku anggap seperti saudara itu justru menjadikan saudaranya sebagai musuh?” Kali ini Chansik kembali melemparinya dengan padangan bingung. “Bisa saja dia menjadikan aku juga sebagai musuhnya suatu saat nanti.”

“Aku tidak mengerti.”

Jongin terkekeh pelan sebelum memberi jawaban lain. “Aku sedang membicarakan hubungan kita dan hubungan kau dengan Jisoo.”

“Apa-”

“Aku tahu dia adik kandungmu.”

“Dari mana-”

“Aku mendengar pertengkaran kalian waktu itu di sana.” Dagu Jongin mengarah pada semak bunga yang tampak lebih rapih dari saat itu. “Kau meninjunya karena dia mengatakan sebuah kebenaran, kau memang pecundang.”

Jongin terkekeh lagi. Dia membuat Chansik menatapnya shock. “Kau tahu? Beberapa bulan ini aku selalu mencari-cari cara agar kau sadar kalau kau sudah mulai melampaui batasanmu.”

Jongin tahu sahabatnya itu mungkin akan membencinya jika cara yang dia ambil ini salah. Bahan taruhannya terlalu berharga.

“Aku mengenalmu sudah hampir tujuh tahun. Waktu yang cukup lama. Waktu yang cukup untuk merubah satu desa menjadi kota kecil.”

Chansik di sampingnya hanya terdiam. Jelas Jongin lihat tangan sahabatnya itu terkepal. Mungkin siap untuk meninju Jongin setelah ini. Atau lebih dari itu.

“Untukku kau sahabat terbaikku. Kau dan Taemin itu saudara terdekatku enam tahun terakhir. Tapi dua bulan ini kau mulai menjauh. Jalan yang kita lalui bersama mulai berubah di matamu.”

“Kalau jalanku berubah, maka biarkan dan tetap dukung aku seperti sebelumnya.” Chansik memotongnya. Dia berdiri menatap Jongin yang masih duduk santai.

Mata mereka saling temu pandang. Tapi seperti tidak ada apa-apa di mata mereka selain bayangan satu sama lain.

“Kalau aku biarkan kau mungkin akan terjebak di rawa-rawa atau jatuh ke jurang.” Jongin ikut berdiri. Tangannya menepuk bahu Chansik sambil memamerkan segaris senyum. “Aku tidak ingin kau mengalami itu.”

Chansik menatap tangan Jongin di bahu kirinya sesaat sebelum dia melepas pegangan temannya itu. “Kau tidak tahu apa yang terjadi dulu. Kau hanya menilai dari apa yang tahu sekarang. Kau sadar itu?”

“Aku tahu apa yang terjadi dulu walau aku tidak tahu apa yang kau rasakan saat itu. Bahkan sampai saat ini aku tidak tahu kenapa kau bisa jadi sosok yang begitu berbeda.”

Chansik tersenyum sinis. “Itu artinya kau belum mengenalku.”

“Yah, anggap saja begitu. Aku belum mengenal kau dengan baik dan sudah berani mengatakan kalau kau sahabatku. Haha, lucu bukan?” Cara bicara Jongin membuat rahang Chansik mengeras. Chansik tampak mulai kehilangan kesabarannya.

Gambaran Jisoo yang bercerita tentang arti sang kakak padanya, lalu permohonan Jisoo agar Chansik memaafkan ibu mereka dan Jihoo yang hanya diam saat Chansik menganggapnya hantu. Jongin pikir itu sudah keterlaluan.

Gong Chansik sudah melampaui batasannya sendiri.

“Lupakan apa yang kau ketahui. Biarkan aku seperti ini sampai anak itu pergi. Apa itu tidak bisa?”

Jongin tidak langsung menjawabnya. Dia harus mengatur napasnya agar emosi yang mulai memuncak karena perkataan Chansik bisa dia tahan. Tidak mudah, sungguh itu sangat sulit.

“Aku terlanjur membenci mereka. Aku terlanjur kecewa pada mereka.” Chansik berbalik. Dia menyembunyikan wajahnya dari Jongin. “Kau tahu rasanya ada di posisiku? Itu sungguh melelahnya. Aku sendiri benci posisi itu.”

Chansik mulai melangkah tapi Jongin langsung membuka mulutnya. Memberi jawaban dari pertanyaan Chansik sebelumnya. “Aku tidak bisa.” Katanya lebih seperti menggeram.

“Bagaimanapun dia adikmu. Dia punya darah yang sama denganmu. Kalian punya satu ibu. Aku tidak bisa membuang fakta itu dan membiarkan kau semakin pantas menjadi pecundang.”

Chansik kembali menghadapnya. Tangan laki-laki itu terkepal kuat dan itu membuat Jongin menahan tawanya. Memunculkan kekehan sinis bagi Chansik.

“Coba ulangi lagi!”

“Kalau aku ulangi, apa kau akan meninjuku seperti kau meninju Jisoo?” Chansik yang kembali mendekatinya berhenti beberapa langkah sebelum dia mendekati Jongin. “Kau ingin menggunakan itu padaku juga?”

“Jongin-ah, aku benar-benar memohon. Lupakan ini dan biarkan saja seperti ini sampai dia pergi.”

Kali ini Jongin yang mendekatinya. Jongin merengkuh kerah bajunya dan mendekatkan wajah mereka. Membiarkan Chansik menatap mata marahnya. “Mana bisa aku biarkan sahabatku menjadi pembohong dan pecundang.” Lalu mendorong Chansik mundur.

“Aku pembohong?”

“Iya, kau pembohong terbaik yang pernah aku kenal. Kau punya seorang adik laki-laki, ibumu adalah ibu tiri dan menyembunyikannya dari aku dan Taemin selama ini.”

“Aku tidak pernah mengatakan kalau aku anak tunggal. Kau tidak pernah mempertanyakan apa ibuku saat ini adalah ibu kandungku atau bukan.”

“Yah, setidaknya saat aku tahu tentang ini, kau bisa jelaskan. Bukan memintaku melupakannya dan berpura-pura tidak ada yang terjadi.”

“Jongin-ah,”

“Sejak dulu aku selalu berharap di antara kita bertiga ada yang memiliki seorang adik. Aku ingin mengajarinya tentang persahabatan, seperti apa yang kita miliki.”

“Kim Jongin-”

“Tapi sekarang saat Jisoo muncul aku justru berharap kalau dia tidak pernah datang. Aku tidak ingin menunjukan persahabatan kita padanya. Kau tahu kenapa?”

“Aku mohon, jangan seperti ini.”

“Aku malu menunjukan persahabatan yang isinya kebohongan seperti ini.”

“Dengarkan aku!” Chansik membentaknya. Laki-laki yang sama tinggi dengannya itu mendekat ingin menyentuh bahu Jongin seperti yang Jongin lakukan tadi. Tapi Jongin menepis tangannya.

“Kau yang harusnya mendengarkanku!” Jongin menatap sahabatnya itu penuh amarah. “Fakta bahwa Jisoo adalah adikmu, fakta bahwa kalian punya satu ibu, punya darah yang sama, kau tidak bisa membuang semua itu hanya dengan melupakannya.”

Dia tidak membiarkan Chansik mengucapkan pembelaan apapun lagi. Karena Jongin pikir, pembelaan Chansik hanya alasan tidak berkaki. Bukan alasan kuat yang bisa dia percaya.

“Kau tidak bisa membuang semua darahmu dan menggantinya dengan darah baru yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Tidak ada hal seperti itu.” Jongin mundur satu langkah lagi. Membiarkan Chansik memikirkan perkataannya. “Itulah sebabnya orang-orang bilang tidak ada mantan orang tua atau anak. Tidak ada mantan adik atau kakak.”

Chansik menunduk. Wajah laki-laki itu tertutup poninya dan gelap karena bayangan. “Lalu aku harus apa? Aku harus bagaimana?”

“Berhenti menyalahkan ibumu dan Jisoo. Anggap saja perpisahan orang tua kalian itu hanya kejadian buruk yang membuat ayah dan ibumu tinggal terpisah.”

“Itu tidak mudah. Kalau kau mau tahu itu bukan hal bisa kau samakan dengan belajar mengikat tali sepatumu. Itu jauh lebih sulit.”

“Itu akan jadi mudah saat kau ikhlas menerimanya.” Jongin mendekat saat dia lihat setetes air jatuh mengenai sepatu Chansik. Tangannya menepuk bahu Chansik lagi. “Menyalahkan Jisoo dan ibumu hanya akan membuat kau semakin lemah. Aku yakin kau sadar akan itu. Kau tidak suka dipanggil pecundang karena kau tahu itu benar. Karena kau merasa seperti itu.”

Jongin memeluknya. Menepuk pundak sahabatnya beberapa kali dan melepas pelukan itu. Sambil tersenyum dia bilang, “Jisoo datang untuk melihatmu, untuk mengenal kakaknya. Apa kau tahu itu?”

Chansik menggeleng. Bibirnya masih terlalu kaku untuk membalas omongan Jongin.

“Beri dia sedikit jalan. Aku rasa itu cara paling mudah untuk belajar ikhlas dan memaafkan mereka.”

Jongin berhasil menyadarkan sahabatnya itu. Taruhannya tidak hilang dan dia dapat tambahan dari taruhan itu.

Hong Jisoo.

Sekarang dia bisa mewujudkan mimpinya untuk punya adik. Karena sahabatnya adalah saudaranya, maka adik sahabatnya adalah adiknya.

“..Mark kau dengan Taemin, Tasha dengan Minah dan Jisoo dengan Chansik.” Jisoo di sampingnya menatap Jongin penuh tanda tanya. Bukan hanya Jisoo sebenarnya. Semua yang ada di sana kecuali Chansik lebih tepatnya. “Yuta kau dengan aku.”

Setelah menyelesaikan pembagian itu mereka yang mahasiswa asing langsung mendekati mahasiswa lokal yang Jongin tunjuk. Hanya Jihoo yang masih setia berdiri dalam diam di samping Jongin.

Anak itu meminta penjelasan Jongin lewat matanya, tapi Jongin justru terkekeh padanya. Itu sungguh menjengkelkan.

“Apa yang kau lakukan? Tidak butuh bantuan?” Itu pertama kalinya Chansik bertanya padanya setelah kejadian saat dia mendapat hadiah tinju dari kakaknya.

Jongin mendorongnya dan mengatakan, “Sana duduk.” Sambil memamerkan senyum kemenangan pada Jisoo.

“Ah, iya-iya. Maaf.” Jisoo duduk di hadapan Chansik. Di bangku dekat tembok.

Sungguh ini pertama kalinya Jisoo duduk di bangku itu dengan Chansik sebagai teman belajarnya. Bolehkah Jisoo berharap lebih setelah ini?

“Apa yang ingin kau tanyakan?” Jisoo menatap kakaknya itu dalam bingung. Chansik masih bersikap dingin, ah tidak, dia mencoba untuk tetap dingin walau itu gagal. Chansik justru terlihat sedang jual mahal padanya saat ini.

“Kau benar-benar tidak butuh bantuan?”

“Hah? Oh, tidak-tidak.” Jisoo langsung mengeluarkan buku-bukunya. Membuka setiap lembarannya dan menunjukan apa saja yang dia tidak mengerti.

“Kau tahu persamaan integral?” Jisoo mengangguk kaku. Jantungnya berdebar kuat bisa sedekat ini dengan Chansik. “Ini bisa kau kerjakan dengan rumus seperti ini. Kau tahu rumus ini?”

Mata mereka bertemu sesaat sebelum Chansik kembali fokus pada buku Jisoo di meja mereka. Dia membuat Jisoo serba salah.

“Kau mengerti tidak?”

“Hah? Iya-iya aku mengerti.”

“Lalu yang mana lagi?”

Oh Tuhan, katakan kalau ini bukan mimpi, karena Jisoo sungguh berharap kalau ini kenyataan.

“Itu, aku tidak mengerti dengan penjelasan ini.” Jisoo menunjuk sebuah halaman yang sudah dia tandai dan mulai memperhatikan Chansik menjelaskan satu per satu dari penjelasan itu dalam bahasa Korea yang lebih dia pahami.

Biasanya Jisoo hanya menandai beberapa dan meminta mereka para pendamping untuk mentranslitnya ke bahasa inggris atau memberi penjelasan ringan dengan bahasa korea. Setelah itu Jisoo pasti bisa mengerjakannya sendiri.

Yah, selalu begitu. Bahkan untuk soal-soal di buku Jongin. Jisoo hanya butuh diberi tahu maksud soal itu apa dan dia pasti bisa menjawabnya.

Tapi kali ini, Jisoo ingin berpura-pura bodoh. Dia ingin Chansik terus berbicara padanya. Dia ingin Chansik terus menjelaskan padanya. Dia ingin tetus mendengar suara kakaknya.

“Aku tidak bisa mengerjakan yang ini. Apa hyung bisa?” Jisoo membuka buku lain dan menyodorkannya pada Chansik.

Bohong. Jisoo bisa mengerjakan soal itu. Anak itu punya otak yang sama encer dengan sang kakak. Jadi sebuah kebohongan besar jika Jisoo tidak bisa mengerjakan soal itu. Dia hanya butuh tahu apa yang harus dia cari sebagai jawaban.

“Kau bisa mengerjakan tugas Jongin tapi tugasmu sendiri kau tidak bisa?” Jisoo menunduk dan menggosok tengkuknya malu-malu. Dia bukan tidak ingin menatap Chansik balik, tapi takut Chansik tahu kalau dia berbohong.

“Itu hanya kebetulan.” Sahutnya lirih.

“Kebetulan yang terjadi setiap hari maksudmu?” Jisoo mengangkat kepalanya. Chansik masih menatapnya. Mata kakaknya itu tampak bersahabat kali ini. Tidak ada amarah atau rasa benci di sana.

Tuk!

Pensil yang Chansik pegang menjadi senjata yang dia gunakan untuk memberi Jisoo hukuman kecil di kepala anak itu. “Kalau mau berbohong, setidaknya pikirkan alasan yang lebih masuk akal.”

Jisoo mengangguk dan tersenyum malu pada kakaknya. Di sisi lain ruangan itu mata Jongin membuntuti setiap kegiatan mereka. Bahkan Yuta di dekatnya mengikuti arah pandang Jongin sejak tadi. Mereka sama-sama menontoni Chansik dan Jisoo.

“Kira-kira apa American Name Chansik hyung?”

“Jonson Gong.” Jongin menjawab pertanyaan Yuta santai.

“Hyung tahu dari mana?”

“Itu yang tertulis di rapotnya saat kami jadi siswa tahun pertama SMA. Waktu itu Chansik baru pindah dari L.A.” Yuta mengangguk-angguk dan masih memperhatikan pasangan adik-kakak yang baru akur di sana, seperti halnya Jongin.

Jongin puas karena dia bisa mengembalikan sahabatnya ke jalan yang benar lagi. Puas karena bisa melihat Jisoo senang bersama Chansik.

Yah, setidaknya sebagai seorang sahabat dia sudah melakukan sesuatu yang berarti besar untuk sahabatnya. Untuk adik sahabatnya juga.

NB : Aku dapat inspirasi bikin ini karena baru selesai nonton Reality Show-nya SEVENTEEN. Di episode terakhirnya ada bagian Joshua nangis sambil meluk ibunya yang dateng dari L.A.

(Haha, aku suka aja sama boy grup yang anggotanya banyak. Asik buat ngapalin muka mereka yang banyak ragamnya. Kaya Suju, EXO, ToppDogg dan sekarang Seventeen.)

Karena emang menurutku Joshua itu mirip sama Gongchan B1A4, jadi tiba-tiba aja aku pengen nulis kisah kaya di atas.

Rada absurd tapi gak apa-apalah ya? Cuma pelampiasan rasa gemes karena muka Joshua dan Chansik yang mirip banget. Beneran mirip deh.

Terus alasan kenapa aku pilih Kim Jongin jadi peran utamanya adalah karena fakta Jongin teman sekelas Chansik di SMA dulu. Mereka sama-sama dari SOPA dan dari kelas yang sama (Kalo emang fakta yang aku baca itu bener dan semoga itu bener).

Semuanya OOC tapi ya nggak OOC juga.

Tapi ya udahlah ya, aku tunggu tanggapan kalian..

Author: Febby Fatma

Super Junior | SNSD | EXO | SHINee | F(x) | B1A4 | BTOB | Apink | Topp Dogg | SEVENTEEN | BTS | B.A.P | Taylor Swift | IU | Juniel | Jang Geun Suk

Here We Need Responsibilities. Thanks!