EXO Fanfiction Dorm

EXO as the Main Cast

The Five Idiots (Chapter 8) “Final Chapter + Epilog”

Leave a comment

1498716598340

 

Title : The Five Idiots (Chapter 8) “Final Chapter + Epilog”

Author : Saustartar

Genre : Comedy, School Life, Friendship, Family, Absurd, Abstrak, Gaje, Suka-suka lah-_-

Main Cast :

  • Cho Eunri
  • Kim Nayoung
  • Kim Neulmi
  • Lee Seulra
  • Lee Taerin
  • EXO
  • SHINee
  • Park Yeongji

Support Cast : Banyak, cari sendiri ye-_-

Rating : NC-75(?)

Length : Multichapter

Note : Bismillah, ASSALAMUALAIKUM PEMBACA SETIA YAYANGNYA AKU! Apa kabar coy? Akhirnya ketemu lagi sama Author Bang Toyib yang udah dua kali puasa dua kali lebaran gak nge-post FF, hehe. Ampun. AKHIRNYA YA AKHIRNYA FF INI KELAR JUGA YA ALLAH SETELAH GUA TULIS DARI 2013 AKHIRNYA KELAR DI 2017, DARI GUA SMP SAMPE GUA KULIAH, SUNGGUH PENCAPAIAN YANG LUAR BIASA. MALU-MALUIN EMANG:( TAPI NIH TAPI entah kenapa mungkin karena udah lama banget gak nulis FF ini, jadi feel-nya tuh agak kurang gitu, bagai sayur tanpa garam(?) dari yang dulunya narasinya tuh amburadul, sekarang tuh jadi hampir semuanya pake bahasa baku gitu walaupun masih ada bahasa sangkleknya sih. Maafin:( Author tuh kayak lupa caranya melesetin narasi gitu, mungkin karena udah terlalu lama gak nulis FF ini. YA NGANA PIKIR AJA INI AUTHOR GAK NULIS FF DARI DUA TAHUN YANG LALU. Tapi kalo percakapannya bahasanya masih bahasa g40L kok! Oh iya, di FF ini juga lebih banyak romance-nya dari pada comedy-nya. Karena ini chapter terakhir kan jadinya Author keluarin dah semuanya kan karena chapter yang sebelum-sebelumnya juga kan udah lebih fokus ke comedy-nya. padahal otak Author gak nyampe buat nulis romance, tapi dipaksakan(?) mwehehe semoga suka ya! Satu lagi, kemaren-kemaren kan Author sempet bilang kalo chapter ini bakal lebih panjang dari chapter 7, tapi ternyata enggak kok! Chapter ini cuma 15.289 words dan 48 halaman saja, hehe. Sama aja banyak. Tapi seenggaknya gak nyampe 40-an ribu words kayak chapter sebelumnya kan jadinya ini bisa kalian baca sekali duduk insyaAllah, tapi kalo mau dicicil juga gak papa sih. Oh iya lagi, makasih buat kalian semuanya, yang udah baca, udah komen, udah nge-like, udah nungguin, makasih. Kalian bener-bener sumber semangat Author buat ngelanjutin FF ini. Mungkin kalo Author gak baca ulang komen-komen kalian, Author gak bakal berubah pikiran buat ngelanjutin FF ini lagi, makasih pake banget. Mungkin Author gak bakal nulis FF di blog lagi setelah FF ini selesai, hehe. Takut bikin yang baca nunggu kelamaan kayak kalian, kan Author jadi merasa berdosa:( MARI KITA SUDAHI SAJA AUTHOR’S NOTE YANG PANJANGNYA MENYAINGI FF-NYA INI. SELAMAT MEMBACA PEMBACA-PEMBACA SETIAKU! SEKALI LAGI TERIMA KASIH!

SEE YOU WHEN I SEE YOU!

 

Yours truly,

Saustartar.

“My heart melts at your smile. When our eyes meet, my heart pounds.”

Baekhyun – Beautiful

Hari minggu yang indah, jam menunjukkan pukul 7 pagi. Cuacanya cerah, namun tidak panas seperti pantat panci yang baru saja gosong, ataupun dingin seperti muka Nayoung. Sangat cocok untuk bergelut asoy di dalam selimut sambil nonton Upin dan Ipin. Namun sepertinya tidak berlaku untuk lima gadis kurang waras di Komplek Perumahan Tahi Lalat.

Berhubung ini hari minggu dan bertepatan dengan peringatan ulang tahun komplek yang ke-17, Pak RT inisiatif mengadakan senam bersama di lapangan komplek karena menurutnya komplek perumahan juga sweet seventeen-nya harus dirayakan. Pantes warganya gak waras, RT-nya aja begini.

Sound system, instruktur senam, dan tukang bubur pun disiapkan untuk memeriahkan acara ini. Tentu saja banyak warga yang datang, termasuk lima tokoh utama kita yang mau gak mau ikut karena paksaan ibunya masing-masing. Bagi Eunri, Seulra, Nayoung, dan Taerin, mereka seharusnya masih ngorok di atas kasur sekarang. Di antara mereka berlima, hanya Neulmi yang paling semangat mengikuti acara ini. Karena ada tukang bubur katanya, lumayan kalo bisa ikutan naik haji. Loh?

Neulmi terlihat sangat bersemangat mengikuti gerakan instruktur senam yang ada di atas podium. Eunri, Nayoung, Seulra, dan Taerin hanya bergerak seadanya, lengkap dengan wajah yang empet. Mending mereka senam poco-poco deh, dari pada harus senam ibu-ibu yang backsound-nya aja pake lagu koplo. Entar kalo khilaf kan bisa goyang. Hm.

“Eun, senam, bukan joget.” Taerin mendelikkan mata ke arah Eunri.

“Eh, Markonah, ini tuh emang gerakannya begini. Tuh, tuh, liat tuh mbak-mbaknya emang goyang-goyang gitu kan!” Eunri heboh nunjuk-nunjuk bokong mbak instrukturnya. Astaghfirullah, sesungguhnya pintu tobat masih terbuka lebar, Eun. *Eunri : Pergilah kau, setan!*

Padahal mah emang Eunrinya aja yang gak bisa menahan tubuhnya buat joget, maklum kan dulunya biduan. *digorok Eunri*

“Udahan yuk, capek nih gua.”

“Pe–perasaan lu dari tadi cu–cuma gerakin tangan doang deh, Young, i–itu juga ga–gak niat. Capek dari ma–mananya coba?” Neulmi memicingkan matanya ke arah Nayoung sambil masih senam dengan semangat.

“Neulmi tetanggaku, sesungguhnya tubuh gua yang lemah nan agung ini gak terbiasa olahraga di pagi hari. Jadi wajar kalo gampang capek.” Nayoung memegang bahu Neulmi sok dramatis.

“Sampah.”

“Makan bubur, yok! Gua laper nih, semua kegiatan senam ini menguras tenaga gua.”

“Seul, lu kayaknya gak beda jauh sama Nayoung deh senamnya. Apanya yang menguras tenaga, pea?”

“Taerin, gua tau lu trauma sama bubur. Tapi tenang, ini bubur ayam kok, bukan bubur bayi–“

“Sampah.”

Setelah perdebatan panjang dan peperangan yang tiada usai, akhirnya mereka berlima pun sudah terduduk sambil melahap bubur ayam masing-masing. Tenda bubur ayam yang tadinya tenang mendadak jadi berisik.

“Kecap mana kecap?”

“Seul, gua gak mau nungguin lu di toiet kalo lu diare besok karena pake cabe lima sendok.”

“EUNRI, JANGAN TUKER MINUM GUA!”

“SI–SIAPA NIH YANG NENDANG KA–KAKI GUA?”

“Neul, ambilin tissue dong!”

“OHOK OHOK!” itu suara Nayoung yang lagi keselek.

Di antara kerusuhan itu, hanya Taerin yang tetap kalem sambil sesekali senyam-senyum. Ralat, bukan sesekali, tapi cengengesan mulu setiap abis ngeliat hape. Dia bahkan makan bubur ayamnya sambil senyam-senyum, seolah-olah itu bubur ayam terenak yang pernah ia makan. Nayoung, Seulra, Eunri, dan Neulmi sontak mendelikkan matanya ke arah Taerin heran. Mereka sadar betul kalo Taerin kurang waras, tapi gak tau kalo bakal separah ini.

“Rin, lu nga–ngapa dah? Ayan lu ka–kambuh?”

Taerin mengabaikan pertanyaan Neulmi dan sibuk tertawa ketika melihat layar hapenya kembali.

“Gawat, ini gak bisa dibiarin. Kayaknya kita harus panggil ambulan.”

“Adaw!”

Seulra tak kuasa menendang kaki Eunri.

“Eunri pea, gua tau lu jomblo sejak lahir, tapi seenggaknya lu tau gejala-gejala dasar dong!” Seulra mengalihkan pandangannya ke arah Taerin yang masih asik senyam-senyum. “Teman kita ini sedang mengalami gejala kasmaran, kawan-kawanku.” Seulra berkata sok bijak.

Eunri, Neulmi, dan Nayoung tak kuasa bengong sambil mangap mendengar penjelasan Seulra.

Seulra tidak mengacuhkan ekspresi ketiga temannya yang tidak layak dipandang mata dan kembali menatap ke arah Taerin yang kini sibuk mengetikkan sesuatu di hapenya. “Jadi, katakanlah pada kami, siapa gerangan yang membuatmu kasmaran seperti ini, wahai Taerin?”

Nayoung tak kuasa melempar tissue beserta kotaknya ke arah Seulra. “Ngomongnya biasa aja bisa? Gua jijik dengernya.”

Setelah cengengesan gak jelas, Taerin pun mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk melihat layar hape. “Hah? Kenapa?”

Seperti dikomando, empat gadis yang agak lumayan lebih waras dikit dari Taerin pun menggeplak jidat mereka masing-masing. Seulra pun berusaha menenangkan teman-temannya yang takutnya kalau dibiarkan malah makin anarkis sambil menggumamkan kata ‘sabar’ berkali-kali.

“Oke, Taerin.”

“Lu kata google?” Eunri menyela.

Seulra menatap empet ke arah Eunri. “Kresek bajigur gak usah ikut-ikutan.”

“Sialan.”

“Jadi Taerin, lu lagi pedekate sama siapa, hah? Ngaku lu!”

Setelah mendengar teriakan Seulra, Taerin sontak kembali senyam-senyum cengengesan sembari memainkan rambutnya. Neulmi, Nayoung, Eunri, dan Seulra pun dibuat melongo kembali melihatnya.

“Kan udah gua bilang, ini tuh gawat–“

Taerin berdehem malu-malu, memotong perkataan Eunri. “Gak pedekate sama siapa-siapa kok, cuma chat biasa aja sama Suga oppa HIHIHIHIHI.”

“HAH?!”

Empat makhluk gak tau diri itu pun kompak berteriak tak kuasa menahan rasa terkejut mereka, yang mana membuat hampir semua pelanggan bubur ayam keselek berjama’ah.

Neulmi memijat pelipisnya yang terasa puyeng. “Rin, kan gu–gua udah i–ingetin, Suga oppa tuh te–terkenal playboy–

“Tapi dia gak seburuk itu, Neul, dia baik kok! Seriusan, malah gua besok diajak jalan bareng.”

“HAH?!”

Tanpa rasa bersalah, empat makhluk kurang ajar itu pun kembali membuat semua pelanggan bubur ayam keselek berjama’ah, kali ini bahkan ada yang nyampe nyembur. Biadab emang. *dibakar*

Nayoung yang pertama kali sadar dari bengongnya pun nyeletuk. “Entar dulu deh, dia dapet kontak lu dari mana?”

Taerin kembali tersenyum malu-malu kambing. “Kalo kata dia sih, dari hatinya yang paling dalam IHIHIHIHIHIHI.”

Nayoung sontak menggeplak jidatnya kuat-kuat. “Bisa gila gua lama-lama.”

“Ko–koreksi, lu e–emang udah gi–gila, Young.”

“Kurang ajar.”

Seulra tiba-tiba menggebrak meja, mencoba menarik perhatian teman-teman kurang warasnya. “Rin, gua gak setuju.”

Mendengar perkataan Seulra, sontak Eunri, Neulmi, dan Nayoung pun mengangguk-anggukkan kepala mereka setuju. Setuju sama perkataan Seulra loh ya, bukan setuju Taerin sama Suga.

“Gua akuin Suga oppa itu ganteng. Walaupun gua gak ikut waktu lu pertama kali ketemu dia, tapi gua sering nge-stalk Instagramnya karena dia salah satu stok penyegar mata gua di malam hari.” Jeda sejenak sebelum Eunri melanjutkan perkataannya. “Tapi menurut gua, mendingan lu gak usah ambil resiko deket-deket sama dia daripada akhirnya lu bakal mewek, Rin.”

Seperti dikomando, Neulmi, Nayoung, dan Seulra pun manggut-manggut membenarkan perkataan Eunri. Walau dalam hati mereka bertanya-tanya, sejak kapan omongan Eunri ada benernya.

“Coy, plis, gua sama dia tuh belum ada apa-apa loh. Belum tentu juga bakal lebih jauh–”

“Belum berarti akan. Lagi pula harum-harumnya tuh bakal lebih jauh loh, Rin, buktinya aja dia ngajak lu jalan.”

“Seul, dengerin gua–“

“Neng, punten, ini mangkoknya udah selesai belum? Mau dipake buat pelanggan yang lain soalnya.”

“Rin, lu beneran niat banget mau jalan sama Suga oppa?” Nayoung ngeliatin Taerin yang sibuk memoles liptint di bibirnya sambil bercermin di cermin toilet sekolah. Ini sejak kapan Taerin jadi secewek ini?

Setelah meletakkan liptint-nya kembali di kantong seragamnya, Taerin pun ngelirik Nayoung lewat cermin sambil sibuk ngerapihin rambutnya. “Iya, Young. Tenang aja, gua bisa jaga diri kok.”

“Bukan lu yang gua khawatirin, tapi Suga oppa. Gua kasian nanti riwayat gebetannya jadi rusak gara-gara ada nama lu.”

“Kampret.”

“Rin, gu–gua kenalin sama co–cogan lain deh ya? Sa–sama Jonghyun oppa ma–mau gak?” Neulmi masih berusaha ngebujuk Taerin.

“Neul, udah deh. Percaya sama gua, oke? Lagian gua belum tau kan dia sebenernya gimana, jadi biarin gua jalanin dulu biar nanti gua yang tau sendiri.” Taerin ngelirik arloji di pergelangan tangannya sejenak. “Yok, balik ke kelas. Ini udah 15 menit setelah bel pulang nih, entar kalo Suga oppa udah nyusul ke kelas gimana.”

Taerin pun langsung ngeloyor keluar dari toilet, meninggalkan Neulmi dan Nayoung yang masih bengong sama kata-katanya barusan.

“Di–dia udah didoktrin a–agaknya.” Neulmi pun memecah kebengongan(?) yang ada di toilet.

“Tapi sebenernya, kalaupun gua jadi Taerin, gua juga udah pasti klepek-klepek sih. Secara yang ngedeketin Suga oppa, mana dia modusnya sip banget lagi, amboooyyy.”

Pletak!

“Adaw!”

Neulmi pun tak kuasa menjitak Nayoung. “Lu gi–gimana, sih? Ka–katanya gak setuju!”

“Iya iya, tapi gua kan tetep gak setuju!” Nayoung ngusep-ngusep jidatnya yang warnanya berubah kemerahan karena dijitak Neulmi.

“Duh, gi–gimana pun gu–gua tetep kha–khawatir sama Taerin.” Neulmi pun berjalan mondar-mandir di toilet, mikir gimana cara buat nyegah Taerin.

“Gini deh, berhubung Taerin-nya juga gak bisa dibilangin, mending kita ikutin aja deh dia. Jaga-jaga kalo dia mewek terus ujan-ujanan kayak di sinetron.” Nayoung pun nyeletuk memberi ide yang agak lumayan cemerlang dikit.

Sontak, Neulmi pun menepokkan tangannya kuat-kuat, cukup untuk membuat Nayoung hampir jantungan. “Be–bravo, Kim Na–Nayoung, bravo!” Neulmi pun mengelus-elus jidat Nayoung sok dramatis layaknya telenovela jaman dulu. “Temanku su–sudah be–berubah.”

Nayoung pun langsung menyingkirkan tangan Neulmi dari jidatnya. “Jijik!”

Kelas sudah sepi, yang tersisa hanya sampah-sampah *EunSeul : Lu kata kita berdua sampah?!* ehem, maksudnya serta Eunri dan Seulra yang lagi sibuk bersihin kelas berhubung mereka lagi piket hari ini. Eunri sibuk nyapu sedangkan Seulra sibuk ngelapin jendela.

“Suga oppa tadi udah dateng ke sini belom?” Taerin muncul di depan pintu tiba-tiba.

Eunri dan Seulra pun sontak menghentikan kegiatan mereka masing-masing ketika mendengar perkataan Taerin yang terdengar panik. Mereka sejenak bengong ketika melihat penampilan Taerin. Bajunya yang biasanya awut-awutan(?) kini rapih, rambutnya yang biasanya diurai acak-acakan kini disisir rapih bahkan dihiasi bando berbentuk pita ala-ala, bibirnya yang biasanya pucat kini pink merona, dan yang biasanya bau sampah kini wanginya semerbak sampe ke kelas sebelah *Taerin langsung ngasah golok*.

“Rin, lu pasti kesambet penunggu pohon duren depan sekolah ya?”

Taerin mendecakkan lidahnya ketika mendengar pertanyaan gak bermutu dari Eunri. “Serah lu, Eun, serah lu. Tapi Suga oppa belum ke sini kan?”

Eunri dan Seulra menggeleng-gelengkan kepala mereka pelan sok dramatis, sebelum suara yang tidak terasa familiar terdengar dari depan kelas.

“Nyariin aku?”

Taerin pun sontak membalikkan tubuhnya hingga menghadap ke asal suara yang berada tepat di belakangnya, disambut oleh senyuman cengengesan ala Min Suga.

Oppa ngagetin!” Taerin ikutan cengengesan. Suga makin cengengesan sampe matanya gak keliatan lagi. Tapi kamu tetep ganteng kok Aa’ Yoongi *ditendang Taerin*.

Eunri dan Seulra pun terbengong sambil mangap melihat adegan yang ada di depan mereka.

Suga ngeliatin Taerin dari atas ke bawah. “Kamu keliatan…………….. beda.”

Taerin langsung sok malu-malu kambing. “Ah, masa sih oppa?”

Taerin dan Suga pun kembali cengengesan. Eunri dan Seulra makin lebar mangapnya, kini perut mereka mulai terasa mual.

“Ya udah berangkat sekarang aja yuk.” Setelah Suga ngomong begitu, Taerin dan Suga pun langsung berjalan berdampingan meninggalkan kelas 1.3 beserta Seulra dan Eunri yang mulai kebelet boker ngeliat adegan yang tidak senonoh di depan mereka.

“TAERIN MANA?!”

Baru aja Eunri dan Seulra berusaha untuk menenangkan diri, tiba-tiba terdengar suara Nayoung yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

“Lu ngapa sih, Young?” Seulra ngeliatin Nayoung heran.

“Lu berdua mending beres-beres buruan, sebelum kita kehilangan jejak!”

“Kayaknya lu yang mendingan diruqyah dulu deh, Young.” Eunri makin bingung sama kelakuan temennya yang sebenernya dari dulu emang gak waras sih.

“Ja–jadi gini,” Neulmi berusaha menjelaskan, “ka–karena Taerin e–emang gak bisa ki–kita cegah, gua sa–sama Nayoung punya re–rencana buat ngi–ngikutin dia sa–sama Suga oppa. Lu berdua ha–harus ikut ju–juga, makanya bu–buruan!”

“Eh kresek bajigur, lu gak liat ini gua sama Seulra lagi piket? Baru juga mulai, gua gak mau disiram aer kobokan sama Pak Eunhyuk kayak Jungkook sama Jimin gara-gara gak piket.” Eunri nyeletuk sambil nunjuk-nunjuk Neulmi pake gagang sapu. Seulra ngangguk-ngangguk doang nge-iyain perkataan Eunri.

“Ya u–udah deh, gu–gua berdua Nayoung a–aja.” Neulmi nengok ke arah Nayoung di sampingnya. “A–ayok, Young, ca–cabut!”

Nayoung ngangguk-ngangguk sok dramatis, seolah-olah mereka berdua sedang mengemban tugas negara. Setelah adegan Neulmi dan Nayoung yang bergaya seolah-olah mereka sedang berada dalam film Mission Impossible, mereka berdua pun berlalu meninggalkan kelas, mengejar Taerin dan Suga yang entah sudah sampai mana.

Eunri dan Seulra pun kembali memulai membersihkan kelas yang sedari tadi tertunda, biar mereka bisa cepet pulang, cepet tidur. Sekolah juga udah sepi, udah gak ada yang dipandangin lagi. Mata sepet, mending buru-buru balik ke rumah. Kecuali kalo Eunri sama Seulra mau mandangan Pak Tris sih, kan mereka doyan om-om *EunSeul : Wah ngajak ribut*.

“Eunri!”

Baru aja Eunri sama Seulra bersih-bersih dengan damai, tiba-tiba terdengar suara yang familiar dari arah pintu kelas. Ini orang-orang kenapa lagi pada seneng amat teriak di depan pintu sih?

“Buset apaan lagi sih?” Eunri pun nengok ke arah pintu sebelum ngerutin alisnya. “Minho oppa? Tumben.”

Setelah melihat kalo yang dateng Minho –disertai oleh temen-temennya yang mayoritas anak basket pada nungguin di depan pintu, Seulra pun mangap seketika. Ini pada mau tawuran apa gimana? Tapi gak papa deh, lumayan pemandangannya jadi bagusan dikit.

Minho pun masuk ke dalam kelas dan menghampiri Eunri yang sejenak menghentikan kegiatan nyapunya. “Nih, tiket, oppa entar sore tanding di GOR Kota, jangan lupa dateng!” ujar Minho sembari menyodorkan tiket pertandingan basket ke Eunri.

“Ya udah, aku ke sana bareng oppa ya.”

“Gak bisa! Oppa mau berangkat sekarang nih, makanya tiketnya oppa kasih ke kamu sekarang.”

“Lah, terus aku ke sana sama siapa dong?”

“Sendiri kan bisa, kamu kan udah gede.”

“Ah gak mau ah, kecuali Seulra ikut.” Eunri pun menunjuk Seulra pake gagang sapu. Seulra yang ditunjuk pun langsung bengong sambil mengap ke arah Eunri.

Minho pun menghela napas berat sambil menyodorkan satu tiket lagi ke arah Eunri. “Ya udah nih, Seulra juga ikut.”

“Yes, makasih oppa!” Eunri cengar-cengir, Minho masang muka asem, walau tetep ganteng sih. “Oh iya, semangat oppa!”

Setelah mengangguk pasrah, Minho pun berlalu keluar dari kelas Eunri.

Seulra langsung melotot ke arah Eunri, angan-angannya untuk pulang dan tidur sirna sudah. “Lu ngapa bawa-bawa gua, nyet?”

“Udah deh, lu mau liat oppa-oppa ganteng gak?” Eunri kipas-kipas pake tiket yang ada di tangannya sambil naik-naikin alisnya.

Hm, boleh juga. “Ya udah deh! Gua terpaksa ikut, sayang kan tiketnya.” Dasar gadis kerdus *Digorok Seulra*.

“Kan mau juga lu. Ya udah, abis ini selesai, kita langsung cabut aja.”

“Na–Nayoung, merunduk!”

Neulmi menjambak rambut Nayoung ke bawah agar bisa tertutup oleh rak baju yang ada di depan mereka, ketika Taerin dan Suga terlihat ingin memalingkan wajah ke arah mereka.

Nayoung mengelus-elus rambutnya yang baru saja dijambak Neulmi empet. “Duh, biasa aja kali, Neul!”

“Bi–biasa aja ke–ketek lu! Kalo ke–ketauan bisa ancur re–rencana kita.” Neulmi kembali mengintip melalui sela-sela baju, mencari keberadaan Taerin dan Suga. Neulmi mulai panik ketika tidak melihat Taerin dan Suga di sana. Ia pun mulai gelagapan mengintip ke segala arah.

“Duh, Taerin sa–ma Suga oppa i–ilang!”

“Hah?!” setelah mendengar perkataan Neulmi, Nayoung pun ikutan mengintip ke segala arah dengan panik.

Nayoung dan Neulmi pun buru-buru pergi menjauh dari rak baju yang menutupi mereka sebelumnya dan mulai mencari keberadaan Taerin dan Suga sambil masih sesekali sembunyi di balik rak-rak baju yang mereka temui.

“Itu Taerin!” Nayoung sedikit berteriak tetapi masih berusaha menjaga volume suaranya ketika dilihatnya sosok Taerin dan Suga yang sedang berjalan masuk melewati pintu bioskop.

“Mana-mana?” Neulmi langsung heboh sembari mengedarkan pandangannya menelusup ke balik pintu bioskop.

“Neulmi, merunduk!”

“Adaw!”

Nayoung sempat mengira kalau yang mengaduh kesakitan itu Neulmi sejenak setelah ia menarik tangan Neulmi untuk bersembunyi di balik salah satu rak baju terdekat, tapi kok suara Neulmi jadi maskulin begini?

Tanpa sadar, mereka menabrak seseorang yang ternyata sudah lebih dulu bersembunyi di sana. Seseorang itu kembali meringis kesakitan, meratapi tubuhnya yang hampir tertimpah badan bongsornya Neulmi. “Duh, hati-hati dong!”

Sontak, Nayoung dan Neulmi pun menoleh ke asal suara.  “LOH? SUHO OPPA?”

Suho yang kaget ini kenapa dua bocah bisa ada di sini pun buru-buru menutup mulut Neulmi dan Nayoung dengan kedua telapak tangannya. Ia pun meletakkan jadi telunjuk di depan mulutnya, memberi kode agar Nayoung dan Neulmi tetap diam. Neulmi dan Nayoung yang masih kaget pun Cuma bisa ngangguk-ngangguk ngeiyain.

Oppa nga–ngapain di si–sini?” ujar Neulmi sambil mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya yang dipenuhi dengan pakaian dalam.

“Hng… Anu..”

Oppa ngikutin Taerin juga, ya?” Nayoung menyela.

Suho memelototkan matanya. “Hah? Enggak lah, enak aja! Oppa Cuma….. hm Cuma….. nyari kado buat ulang tahun ibu oppa!”

Nayoung memicingkan matanya. “Kalo mau nyari kado, kenapa harus nyumput-nyumput begini. Oppa?”

Suho menghela napas berat. Ia tidak tau harus ngeles apalagi di depan dua makhluk kurang waras ini. Ia tertangkap basah, mau tidak mau ia harus memberi tahu mereka semuanya. Tentang alasan ia berada di sana, tentang perasaannya.

Eunri dan Seulra melongok sambil mangap ketika melihat antrian masuk ke dalam GOR kota yang ramenya melebihi senam bersama di komplek rumah mereka kemarin. Mereka terlalu malas berdesak-desakan, jadi mendingan bengong dulu sambil nunggu sepi.

Perlombaan basket ini memang perlombaan yang cukup besar, jadi wajar banyak penonton dari berbagai sekolah yang kini memadati GOR. Ditambah pemain-pemain basketnya yang aduhai, siapa yang rela melewatkan kesempatan untuk cuci mata sebersih-sebersihnya seperti ini?

“Ini kapan sepinya sih?” Seulra ngedumel.

“Tau dah, kalo pertandingannya udah mulai begimana?” Eunri ikutan ngedumel.

“Eunri!”

Eunri sontak mengalihkan pandangannya ke asal suara. Di sana, terlihat Minho yang sudah mengenakan jersey basket sekolahnya sambil memegang sebotol air mineral yang sudah diminum setengah. Minho berjalan mendekat, mendatangi Eunri dan Seulra yang masih bengong. Sontak, ciwai-ciwai yang tadinya lagi pada ngantri buat masuk pun langsung salah fokus.

Setelah sampai di depan Eunri, Minho pun menatap adiknya itu heran. “Kok kamu belum masuk?”

Mendengar kata ‘kamu’ yang digunakan Minho untuk memanggil Eunri, ciwai-ciwai yang lagi pada ngantri pun langsung histeris. Ada yang histeris karena patah hati, ada juga yang histeris karena ngeliat otot lengan Minho yang amboyyy mantapnya dari dekat.

Eunri akui, setelah 16 tahun hidup bersama Minho, kali ini Minho emang keliatan ganteng. “Ya itu antriannya rame banget, gimana mau masuk.”

Minho melirik arlojinya sejenak. “Duh, udah mau mulai lagi. Ya udah, kamu ikut oppa deh.”

Eunri dan Seulra yang bingung pun Cuma bisa ngikutin Minho yang berjalan di depan mereka.

“Ini kita mau kemana deh, oppa?”

“Kita lewat pintu buat pemain aja. Kalo kalian nungguin antrian masuk, entar pertandingannya udah mulai duluan.”

“Lah, emang boleh?”

“Gampang, entar oppa yang urus.”

Melihat kelakuan oppa-nya yang tiba-tiba baik, Eunri pun harus menahan dirinya sekuat tenaga agar tidak melompat lalu memeluk Minho erat-erat sambil berkata ‘AKHIRNYA KAMU BERUBAH, NAK!’.

Ketika mereka sudah berhasil masuk ke dalam GOR, mereka pun langsung disambut oleh pemandangan para pemain basket yang langsung keselek karena melihat kehadiran mereka berdua. Ini kenapa dua cewek bisa masuk lewat situ? Mereka bukan penyusup kan?

Minho tiba-tiba berbalik ke arah Eunri dan Seulra yang masih berjalan di belakangnya, membuat keduanya sedikit terjengkat kaget. “Supporter sekolah kita di sebelah sana, kalian duduk di tengah-tengah aja biar keliatan terus gak terlalu jauh juga.”

Minho menunjuk salah satu bagian tribun yang sudah mulai penuh, gawat bisa-bisa mereka gak kebagian tempat. Eunri dan Seulra pun Cuma bisa ngangguk-ngangguk ngeiyain.

“Ya udah, oppa mau siap-siap dulu, soalnya sekolah kita yang pertama tanding. Kalian langsung ke sana aja sebelum penuh.” Setelah nepok-nepok kepala Eunri sejenak, Minho pun berlalu meninggalkan Eunri dan Seulra kemudian beranjak ke tempat timnya berada.

Eunri dan Seulra pun langsung buru-buru berjalan ke arah tempat yang ditunjuk Minho tadi. Hampir saja mereka kehabisan tempat, mengingat banyaknya supporter dari sekolah mereka. Bahkan Seulra sempat melihat kawanan Ara and The Gank yang duduk di kursi paling depan. Setelah kejadian beberapa waktu lalu, setelah Ara and The Gank memohon maaf kepada mereka dan oppa-oppa mereka, mereka belum pernah melihat Ara and The Gank lagi. Semoga sekarang udah tobat.

“Loh, Seulra? Eunri?”

Eunri dan Seulra sontak menoleh ke arah asal suara. Namjoo terlihat kaget sembari mendudukkan dirinya tepat di kursi di sebelah kanan Eunri. “Kalian nonton juga?”

“I–iya, hehe. Lu nonton juga?” Seulra menjawab seadanya.

“Lebih tepatnya gua mau nonton Chanyeol oppa sih, HIHIHIHIHIHIHI.” Namjoo langsung cengengesan gak jelas. Eunri yang melihatnya pun langsung memasang wajah empet.

Jadi Chanyeol oppa main juga?

Namjoo berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan cengengesannya. “Ehem, ngomong-ngomong, kalian dapet tiket dari mana?”

“Dari Minho oppa.” Eunri menjawab singkat.

“Kalo gua sih dari Chanyeol oppa, HIHIHIHIHIHIHIHIHIK!”

Eunri empet setengah idup. Kalo aja dia gak ada iman, mungkin Namjoo udah dijorokin ke lapangan dari tadi. Ini anak emang mau pamer apa gimana sih? Sejak kapan juga dia deket sama Chanyeol oppa? Jangan-jangan gossip yang Neulmi bilang waktu itu bener? Jadi selama ini Chanyeol oppa suka sama Namjoo? Cih, dasar lelaki kerdus.

Sadar kalau situasi antara kedua temannya tidak baik –sebenernya Cuma Eunri doang sih, Namjoo mah baik, baik banget malah– Seulra pun berusaha mencairkan suasana, makanya dia bawa obor dari tadi. Loh?

“Eh, pertandingannya udah mulai, tuh!”

Sontak, Eunri dan Namjoo pun mengalihkan pandangan mereka ke lapangan. Kedua tim mulai memasuki lapangan dan pertandingan segera di mulai. Eunri bisa melihat Minho……………………….. dan Chanyeol. Keduanya berdiri berdekatan. Eunri mengutuk hatinya yang hampir saja bergetar ketika melihat Chanyeol. Menggunakan jersey seperti itu, Chanyeol terlihat lebih………………….. menawan.

“YA AMPUN CHANYEOL OPPA GANTENG BANGET!”

Eunri mendelik sebal ke arah Namjoo yang berteriak histeris di sampingnya. Eunri pun kembali memerhatikan pertandingannya, memerhatikan Chanyeol lebih tepatnya. Entah kenapa, ia suka melihat Chanyeol mendribble bola seperti itu. Ketika Chanyeol menoleh tepat kepadanya, ia pun buru-buru memerosotkan tubuhnya di kursi, bersembunyi dari Chanyeol. Entah kenapa, ia merasa tidak seharusnya Chanyeol tau ia ada di sini. Ia harusnya masih marah pada Chanyeol.

“YA AMPUN CHANYEOL OPPA NGELIAT KE GUA!”

Masih dalam keadaan merosot di kursi, Eunri lagi-lagi mendelik emosi ke arah Namjoo. Oh, jadi dia ngeliatin Namjoo?

“Chanyeol!”

Chanyeol tersentak ketika mendengar suara Minho yang memberinya kode untuk segera mengoper bola kepadanya. Ia sedikit terkejut ketika melihat sosok Eunri di antara supporter sekolah mereka. Jadi dia nonton?

Tanpa sadar, ia tersenyum kecil sebelum kembali memfokuskan dirinya pada pertandingan.

Setelah merasa keadaan sudah aman, Eunri pun kembali menegakkan badannya. Ketika baru saja ia bisa melihat lapangan dengan jelas, sorak-sorai penonton ramai terdengar saat Minho berhasil mencetak skor. Ia pun langsung ikut-ikutan heboh.

“KAKAK GUA ITU KAKAK GUA!”

“Eun, lu pernah kepikiran kalo gua jadi kakak ipar lu gak?”

Eunri tak kuasa menabok lengan Seulra. “GAK!”

Setelah sorak-sorai mulai mereda, pertandingan mulai berjalan normal kembali. Namun tak lama, sorak-sorai kembali terdengar ketika Chanyeol berhasil mencetak skor. Eunri pun kembali berteriak heboh, ia ikut nepok-nepokin tangannya sambil loncat-loncat dalam euphoria sopporter sekolah mereka.

Ia terdiam ketika menyadari kini Chanyeol sedang melihat tepat ke arahnya. Ia tidak tau apakah itu untuknya atau Namjoo dan ia juga sudah tidak peduli lagi, ia juga tidak menyesal ketika melihatnya, namun ia yakin, Chanyeol sempat tersenyum sebelum membalikkan badannya dan kembali dalam pertandingan.

“YA AMPUN CHANYEOL OPPA SENYUM KE GUA!”

Eunri benar-benar ingin menyantet Namjoo.

“Kira-kira mereka nonton film apa ya?”

Nayoung, Neulmi, dan Suho –iya, Suho dipaksa ikutan juga sama Nayoung dan Neulmi karena tujuan mereka sama, yaitu ngintilin Taerin dan Suga– terlihat sedang mengintip dari balik tembok, menunggu Taerin dan Suga selesai membeli tiket, supaya tiba giliran mereka untuk buru-buru membeli tiket yang sama dengan Taerin dan Suga. Karena sedang hari kerja, bioskop terlihat sepi, jadi mereka tidak perlu mengantri untuk mendapatkan tiket.

“Jangan-jangan me–mereka mau no–nonton film horror bi–biar modusnya ma–makin mantap.” Neulmi mengelus-elus dagunya curiga menjawab pertanyaan Nayoung.

Suho langsung melotot. “Wah, enak aja, gak bisa gitu dong!”

Nayoung pun langsung memasang wajah bijak bak Dewi Quan In sambil menepok-nepok bahu Suho. “Tenang, oppa, ada kita di sini buat ngebantu oppa ngegagalin modus-modus manjanya.”

Neulmi mengangguk dramatis, setuju dengan perkataan Nayoung.

Sebenernya Suho agak tidak yakin, ralat, SANGAT tidak yakin akan bantuan yang akan diberikan Nayoung dan Neulmi. Firasatnya mengatakan kalau bisa-bisa rencananya hancur semenjak ia setuju untuk bergabung dengan Nayoung dan Neulmi dalam misi ngintilin Taerin. Suho pun kembali melirik ke loket pembelian tiket, Taerin dan Suga sudah tidak ada di sana.

“EH ITU MEREKA UDAH GAK ADA!”

Nayoung dan Neulmi langsung celingak-celinguk panik. Sontak, mereka bertiga pun berlari ke loket pembelian tiket bak sedang lomba berlari marathon. Mbak-mbak penjaga loketnya pun agak bingung bercampur ngeri, ini tiga bocah pada mau ngapain?

“Mbak ki–kita mau be–beli tiket yang sa–sama kayak ce–cewek dan co–cowok barusan!”

Mbak-mbaknya agak sulit mencerna perkataan Neulmi. “Hah? Mohon maaf, bisa diulang?”

Nayoung yang tadinya di belakang Neulmi pun menggeser tubuh Neulmi dengan brutal. “Kita mau beli tiket yang sama kayak cewek dan cowok yang tadi, Mbak.”

Mbaknya pun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil ber-oh ria. “Film Tangisan Pocong Keselek ya, Kak?”

“Tuh, kan! Be–bener apa ka–kata gua!”

Suho makin empet. “Mereka duduknya di mana ya, Mbak?”

Mbaknya pun terdiam sejenak, berusaha untuk mengingat. “Hm, kalo gak salah sih di sini, Kak.”

Suho pun melotot ke bukaan maksimal ketika mbaknya menunjuk kursi kedua dari belakang.

“Waduh, beneran niat banget ini modusnya!” perkataan Nayoung pun makin membuat Suho emosi.

“Kita harus gagalin ini biar tidak terjadi hal yang diinginkan.”

“Hal ya–yang tidak di–diinginkan, Young.”

“Iya, maksudnya itu.”

“Te–tenang, oppa, ki–kita bakal ba–bantuin, kok!” Neulmi pun nepok-nepok bahu Suho dramatis.

“Jadi ini mau di kursi yang mana ya, Kak?” Mbak-mbaknya yang bingung melihat drama anak SMA di depannya pun bertanya hati-hati.

“Kita mau tiga kursi tepat di belakang cewek sama cowok tadi ya, Mbak. Di sini.” Suho pun menunjuk tiga kursi strategis yang ia maksud.

Setelah memilih kursi, Mbaknya pun menyodorkan tiga tiket ke arah Suho. “Jadi 150 ribu ya, kak. Lima menit lagi filmnya dimulai, teaternya sudah dibuka ya, kak.”

Suho pun melirik Nayoung dan Neulmi yang berada di sampingnya. Yang dilirik pun hanya bisa cengengesan sambil mengendikkan dagunya ke arah Mbak-mbak penjaga loket. “Ba–bayarin dong, ooppa.”

Syalan.

“Lah, apa-apaan?”

“Kan udah dibantuin, oppa. Apa mau gua aduin ke Taerin nih–“

“Eh, iya iya iya! Gua bayarin, gua bayarin!” Suho pun menarik lengan Nayoung yang hampir pergi mengejar Taerin. Dasar licik.

Suho pun sedikit ngedumel ketika membayar tiket mereka ke Mbak-mbaknya. Untung dia holang kaya, jadi persedian uang cash di dompetnya banyak.

Suho, Nayoung, dan Neulmi pun langsung berlalu dari loket menuju teater tempat film yang akan mereka tonton ditayangkan. Ketika mereka masuk, teater sudah gelap, lampu sudah dimatikan. Mereka berjalan hati-hati menaiki tangga. Untung lampunya udah dimatiin, kalo masih idup, bisa-bisa mereka ketauan sama Taerin.

Ketika melewati Taerin dan Suga, Suho terdiam sejenak. Walau keadaannya gelap, Suho bisa tau kalau Taerin sedang tersenyum karena hal yang dikatakan Suga sebelumnya. Ia harus berhenti memandangi Taerin ketika dirasakannya tendangan Nayoung dari belakangnya disertai dengan bisikan. “Oppa, buruan!”

Suho, Nayoung, dan Neulmi pun buru-buru duduk di kursi mereka sebelum Taerin sadar. Kini mereka duduk dengan posisi Nayoung-Suho-Neulmi. Kenapa Suho ditengah? Biar gak kabur katanya. Halah, bilang aja mau modus. Dasar licik *dikeroyok NeulYoung*.

Fokus mereka pun tertuju pada layar ketika film dimulai. Namun, entah kenapa Suho tidak bisa fokus. Ia terus memperhatikan gerak-gerik Suga dan Taerin di depannya. Ia pun melotot ketika melihat tangan Suga yang mulai bergerak mendekati tangan Taerin. Neulmi sama Nayoung keasikan nonton. Kan, emang dari awal gak ada gunanya gabung sama dua curut itu *digorok NeulYoung*.

“OHOK!”

Suara batuk Suho yang disengaja pun berhasil membatalkan kegiatan modus Suga. Ketika Suho mengalihkan pandangannya ke layar, layar sedang menampilkan wajah hantu pada film tersebut.

“WAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

Suara penonton satu teater terdengar jelas di telinganya, apalagi suaranya Nayoung dan Neulmi yang kini sedang sibuk nyumput di balik bahunya. “Lu berdua fokus dong! Jangan terpengaruh sama filmnya!”

“Astaghfirullah astaghfirullah!”

“A–amit amit, amit a–amit!”

Neulmi dan Nayoung yang masih terbayang oleh wajah hantu di film pun tak menghiraukan perkataan Suho. Teringat akan sesuatu, Suho pun buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah Taerin dan Suga, yang mana Taerin kini sedang sibuk nyumput di balik bahu Suga.

Kuampret.

Suho pun buru-buru menendang kursi Suga yang ada di depannya, membuat Suga tersentak dan menjauh dari Taerin. Ketika Suga berbalik kepadanya, Suho pun buru-buru memerosotkan tubuhnya di kursi, mencoba bersembunyi. Ketika pandangan Suga sudah kembali ke layar, barulah Suho menegakkan tubuhnya kembali.

Gawat, ini gak bisa dibiarin. Bahaya kalo Taerin sampe suka beneran sama Suga. Bahaya buat Taerin………………………………. Bahaya buat gua juga.

Eunri dan Seulra masih fokus memperhatikan pertandingan basket di lapangan. Mereka mulai cemas karena banyak pemain dari sekolah mereka yang cedera, bahkan stok pemain cadangan sudah tinggal dua orang untuk menggantikan pemain yang cedera. Mereka tidak menyangka bahwa pemain-pemain dari sekolah lawan sebarbar itu. Mereka benar-benar licik. Eunri bersyukur karena Minho masih bertahan. Walau ia akui sekarang ia jadi sedikit khawatir juga, khawatir sama Minho………………… dan khawatir sama Chanyeol juga.

Buk!

Eunri langsung berdiri dari duduknya ketika dilihatnya Minho sudah terjatuh di lapangan sambil memegangi kakinya. Apa yang ia khawatirkan kini menjadi kenyataan. “Minho oppa!”

Eunri hampir saja berlari menuruni tribun untuk menghampiri Minho kalau saja Seulra tidak mencegahnya. “Eun, udah, Eun. Itu udah ada medisnya. Kalo lu ikut campur ke sana, entar malah makin ribet situasinya!”

Seulra berusaha menahan Eunri. Ia tahu kalau saja ia membiarkan Eunri turun, mungkin Eunri bisa saja sudah menghajar orang yang membuat Minho cedera sampe mampus. Eunri menahan tangisnya sekuat tenaga. Entah kenapa, ia tidak bisa melihat kakaknya itu terbaring kesakitan di bawah sana, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Seulra masih sibuk menenangkan Eunri dengan menepuk-nepuk bahunya ketika ia mendengar suara dering ponselnya. Ia pun buru-buru mengeluarkan ponselnya dari kantong roknya lalu membaca sederet nomor yang tertera di ponselnya. Nomor tidak dikenal. Entah kenapa, Seulra jadi malas mengangkat telpon dari nomor tidak dikenal semenjak nomor tidak dikenal yang terakhir kali meneleponnya menyatakan kalau ia dapat mobil hadiah undian. Ia hampir saja tertipu kalau saja Onew tidak menghentikannya. Sejak saat itu, Onew melarangnya untuk sembarangan menjawab telepon, apalagi dari nomor tidak dikenal. Setelah me-reject panggilan tersebut, Seulra pun kembali memasukkan ponselnya ke kantong.

Namun, penipu itu pantang menyerah ternyata. Ia tetap menelepon Seulra berkali-kali meski selalu Seulra reject juga. Jengah dengan panggilan telepon yang tiada henti, Seulra pun terpaksa mengangkat panggilan telepon dari nomor tidak dikenal itu?

“Halo–“

“Halo! Mas gak perlu ngasih saya mobil, saya udah punya!”

“Hah apaan–“

“Udah deh, Mas! Orang-orang kayak Mas itu gak capek apa nipu orang?”

“Dengerin dulu–“

“Tobat, Mas, tobat! Untung saya udah paham betul sama penipu kayak Mas ini!”

“SEULRA INI GUA!”

Seulra melotot. “Loh, kok Mas tau nama saya?!”

Eunri hanya menyimak sambil makan kacang rebus drama antara Seulra dan mas-mas yang ia sebut di seberang telepon sana. Sejenak, ia agak lupa akan rasa sedih yang ia rasakan tadi.

“Ini gua, Lay.”

Seulra tersentak kaget hingga ia langsung berdiri dari duduknya. “HAH?! LAY OPPA?!”

Eunri pun ikut-ikutan berdiri kaget sambil mendekatkan telinganya ke ponsel Seulra. Dasar tukang nguping, cih *digaplok Eunri*.

“Iya, ini gua–“

OPPA TAU NOMOR GUA DARI MANA?!”

Terdengar suara Lay yang sedang mendesah sebal diujung sana. “Dari Onew, gua mau minta bantuan lu.”

Seulra mengerutkan dahinya. “Bantuan apa, oppa?”

Lay berdehem sejenak. “Lu di mana sekarang?”

“Lagi……… di GOR kota, nonton sekolah kita main.”

“Tunggu di sana, entar gua telepon kalo udah nyampe.”

“Hah? Ttapi–“

Tut tut tut!

Siapa hendak turut, ke Bandung, Surabaya, bolehlah naik dengan percuma~

Ehem.

Baru saja Seulra ingin menyela, namun Lay keburu mengakhiri panggilan telepon mereka. Seulra pun melihat ponselnya dengan kening berkerut. Ini orang apa-apaan sih?

Beda dengan Eunri yang kini sedang menatapnya takjub sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. “Lu ngapa sih, Eun?”

“Lu udah sejauh mana, hah, sama Lay oppa?” Eunri langsung menuding Seulra.

“Sejauh mana ketek lu!”

“Gak mungkin belum sejauh apa-apa kalo lu berdua udah maen jemput-jemputan begini!”

“Maen jemput-jemputan apaan sih, Eun? Gua sama dia gak ada apa-apa, juga.”

“Beuh, gua tinggal gak masuk sehari ternyata banyak cerita yang gua lewatkan.”

“Gak ada yang bisa diceritain juga, Eun, dibilangin.”

“Lu utang banyak cerita sama gua.”

Seulra melotot. “Terus lu apaan? Lu pikir gua gak nyadar ada yang beda sama lu? Pake liat-liatan, senyum-senyuman sama Chanyeol oppa, lu pikir gua gak sadar? Lu juga utang banyak cerita sama gua!”

Eunri langsung kicep. “Gugua gak aada apa-apa juga! Lagi pula kan gua udah cerita sama lu waktu di rumah gua!”

Tanpa mereka sadari, Namjoo yang sedari tadi duduk di samping Eunri, menyimak perdebatan gak berfaedah mereka dari awal. Ia tidak mempercayai apa yang ia dengar, lebih tepatnya tidak mau. Gak, gak mungkin, Chanyeol oppa tuh tadi ngeliat sama senyum ke gua doang.

Berpaling dari Namjoo, mari kita simak lagi adu bacot gak berfaedahnya Seulra dan Eunri.

“Itu kan udah lama! Siapa tau kemaren-kemaren ada kejadian yang gua gak tau.”

“Kan lu tau sendiri gua lagi marah-marahan sama dia, emang bisa ada kejadian apa, hah? Yang ada tuh pasti banyak kejadian lu sama Lay oppa yang gua gak tau!”

“Lu tuh emang gak percayaan banget ya! Kalo ada kejadian spektakuler tuh pasti gua ceritain, kalo gak gua ceritain berarti gak spektakuler!”

“Terus ini kenapa gak lu ceritain?”

“Ini gua baru mau cerita–“

Seulra terpaksa menghentikan perkataannya ketika terdengar dering ponsel di saku seragamnya. Ia pun buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku lalu menjawab panggilan telepon tersebut. Seperti yang sudah ia tebak, dari Lay.

“Halo, oppa?”

Mendengar perkataan Seulra, Eunri pun buru-buru mendekatkan telinganya ke ponsel Seulra, berusaha menguping.

“Gua udah di depan.”

Seulra berdehem sejenak. “Iya, gua ke depan sekarang.”

Setelah memutus sambungan teleponnya dengan Lay, Seulra pun buru-buru menaruh ponselnya ke saku dan menyampirkan ranselnya di punggung.

Eunri melotot. “Lu beneran pergi? Terus gua gimana?”

Seulra hanya mengangguk mengiyakan. “Sesungguhnya masih banyak angkot dan ojek di luar, Eun.”

“Sialan.”

“Ya udah, gua duluan ya. Entar pasti gua ceritain sama lu.” Seulra dadah-dadah ke Eunri sembari menuruni tribun menuju pintu keluar, mengabaikan Eunri yang masih ngedumel di atas sana.

Sesampainya di depan pagar GOR, Seulra pun celingak-celinguk mencari keberadaan Lay, namun tak kunjung ia temukan. Beuh, jangan-jangan gua dikerjain lagi.

Tin! Tin!

Seulra sedikit tersentak ketika mendengar suara klakson mobil dari arah kirinya. Ia pun buru-buru mengalihkan pandangannya ke asal suara, bersiap-siap untuk ngedumel. Namun, ia harus mengurungkan niatnya itu ketika dilihatnya sosok Lay yang keluar dari kursi pengemudi. Seulra membelalakkan matanya. Lah, perasaan terakhir kali dia nganter gua pulang pake motor dah.

Seulra bengong. Lay menaikkan salah satu alisnya, bingung melihat ekspresi Seulra. “Lu gak mau masuk? Gua buru-buru nih.”

Seulra tersentak dari lamunannya. “Hah?”

Jengah melihat sikap Seulra, Lay pun berjalan ke sisi kursi penumpang di samping kursi pengemudi lalu membukakan pintunya untuk Seulra. Setelah berhasil membuka pintunya, Lay pun mengendikkan dagunya ke dalam, menggesturkan Seulra untuk masuk.

“Eh? I–i–iya iya.” Entah kenapa Seulra jadi ketularan gagapnya Neulmi.

“Theulla eonnie!”

Setelah berhasil duduk di kursi penumpang, Seulra langsung disambut suara sumringah seseorang yang duduk di kursi penumpang di belakangnya.

Seulra pun buru-buru menolehkan kepalanya sebelum membelalakkan matanya. “Loh? Qian?”

“Kok ada Qian?” Seulra mengalihkan pandangannya ke Lay yang kini sudah duduk di kursi kemudi, bersiap-siap menjalankan mobilnya. “Sebenernya lu mau minta bantuin apa sih?”

Lay melirik Seulra sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Bantuin jagain Qian.”

“Hah?”

“Bokap sama nyokap gua lagi perjalanan bisnis ke luar kota, jadi gak ada yang jagain Qian di rumah.”

“Kan ada lu?”

“Gua tiba-tiba ditelepon Pak Changmin disuruh ke GOR. GOR terlalu rame terus berisik, gak mungkin gua ajak Qian.”

Seulra mengerutkan dahinya. “Lah, ngapain?”

Lay mengendikkan bahunya. “Gak tau juga, mungkin disuruh main. Lu nonton kan? Katanya pemain sekolah lawan ganas-ganas ya? Terus kapten basketnya, Si Minho, cedera?”

“Lah? Kan lu bukan anak basket?”

Lay mendengus sebal. “Gini-gini nilai olahraga gua gede tau.”

Seulra tak menjawab lagi ketika dilihatnya Lay menepikan mobilnya di depan Taman Kota. “Ayok, keluar.”

Setelah berkata begitu, Lay pun melangkah keluar dari mobil diikuti Seulra dan Qian. Kerutan di dahi Seulra makin berlipat-lipat. “Ini kita ngapain ke sini?”

Lay berbalik ke Seulra. “Tolong jagain Qian main di sini.”

Seulra terdiam, menunggu Lay melanjutkan perkataannya. “Di sini kan gak jauh dari GOR, jadi gua gampang jemputnya nanti.”

Seulra mengangguk kecil sebelum kembali menatap Lay di depannya. “Kenapa lu minta bantuin gua?”

Lay berpikir sejenak. “Karena Qian deket sama lu, terus juga………………………… karena gua percaya sama lu?”

Seulra terdiam. Ia bingung harus bagaimana menyelamatkan situasi canggung seperti ini.

Lay berdehem sejenak sebelum berlutut untuk mengacak rambut Qian. “Gege pergi dulu ya, Qian main sama Seulra eonnie dulu gak papa, kan?”

“Gak papa, gege!”

Lay tersenyum gemas ke arah Qian sebelum berdiri dan menghampiri Seulra yang masih bengong. “Gua titip Qian ya.”

Lay menepuk-nepuk kecil kepala Seulra sebelum berlalu meninggalkannya ke mobil dan kembali menuju GOR.

Seulra masih terdiam bahkan ketika Lay dan mobilnya sudah benar-benar tidak ada di sana. Ia pun menyunggingkan senyum selebar-lebarnya, lebih lebar dari senyumannya ketika mendapatkan THR dari neneknya. Ia pun langsung loncat-loncat sumringah. “MASYAALLAH! INI GUA GULING-GULING AJA APA?”

“Theulla eonnie!”

Sayangnya kegiatan gak warasnya itu harus terhenti ketika terdengar suara Qian memanggilnya. Ia pun buru-buru mengalihkan pandangannya ke Qian yang sudah duduk manis di atas ayunan, masih lengkap dengan senyumannya yang belum hilang. “Iya, Qian?”

“Qian mau main ayunan!”

Mendengar perkataan Qian, Seulra pun buru-buru menghampiri gadis kecil itu. Gadis kecil yang sudah dipercaya Lay untuk dititipkan padanya.

“Ini Mbak, Mas, pesanannya.”

Suho, Nayoung, dan Neulmi sedikit menurunkan buku menu yang menutupi wajah mereka ketika seorang pramusaji menyajikan pesanan mereka di meja. Mereka tersenyum simpul pada sang pramusaji sebelum ia berlalu dari meja mereka. Mereka sengaja memilih meja di pojok, tak lain dan tak bukan adalah agar tidak ketahuan oleh Taerin. Iya, mereka masih membuntuti Taerin dan Suga hingga ke foodcourt.

Suho tak kuasa menggebrak meja ketika dilihatnya Suga sedang mengelap sudut bibir Taerin dengan jarinya. Hampir saja ia berdiri dari duduknya kalau aja tidak ditahan Nayoung.

“Sa–sabar, oppa, sa–sabar!” Neulmi berusaha menenangkan Suho yang sudah terlanjur panas.

“Gimana mau sabar?!” Suho ngotot.

“Kalo oppa emosi begini malah entar ketauan!”

Mendengar perkataan Nayoung, Suho pun berusaha menenangkan dirinya kembali, walaupun di dalam hati masih empet.

Mereka bertiga pun sejenak mengalihkan pandangan mereka dari Taerin dan Suga lalu mulai memakan makanan yang sudah mereka pesan. Nayoung dan Neulmi pun makan dengan brutal, sementara Suho masih memikirkan Taerin. Kan, emang gak tau diri *digaplok NeulYoung*.

Nayoung menghentikan kegiatan makannya ketika dirasakan getaran dalam dadanya. Lah?

Nayoung menghentikan kegiatan makannya ketika dirasakan getaran dalam saku seragamnya. Ia pun buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menjawab panggilan yang ternyata dari kakaknya, Key.

“Halo? Kenapa, oppa?” Nayoung menjawab masih dengan mulut yang penuh.

“KAMU MASIH BERANI TANYA KENAPA? INI TUH UDAH JAM SEGINI, KAMU DI MANA HAH?”

Nayoung menjauhkan ponselnya dari telinga. “KENAPA HARUS PAKE EMOSI SIH? Aku di mall sama Neulmi, kenapa emang?”

“DI MALL? KAMU LUPA KALO MALEM INI RESEPSI PERNIKAHANNYA TANTE BOA? KAMU KAN DISURUH JAGAIN STAN PEMPEK!”

Nayoung seketika menggeplak jidatnya. “Oh, iya! Aku lupa!”

“ASTAGHFIRULLAH, YA GUSTI! YA UDAH, KAMU TUNGGU DI DEPAN, NANTI OPPA JEMPUT.”

“Ck, iya iya!” Nayoung pun langsung memutuskan sambungan teleponnya dengan Key.

Suho dan Neulmi menatap Nayoung aneh. Yang ditatap malah cuek buru-buru menghabiskan makanannya lalu berdiri dan menyampirkan tas ranselnya di punggung. “Neulmi, oppa, gua duluan ya!”

“Lu ma–mau ke ma–mana dah?”

“Gua di suruh balik, mau kondangan.”

“Hah?”

Nayoung melirik arlojinya sekilas. “Udah ya, gua buru-buru nih! Dadah!”

Tanpa menunggu reaksi Suho dan Neulmi, Nayoung pun berlalu meninggalkan mereka berdua sambil dadah-dadah ria. Suho dan Neulmi pun hanya bisa dadah-dadahin Nayoung balik.

Melupakan Nayoung yang sudah pulang, Suho dan Neulmi pun kembali fokus memperhatikan pergerakan Taerin dan Suga. Suho melotot ketika dilihatnya Suga sedang menyelipkan rambut Taerin ke balik telinga.

Kurangajar.

Baru saja Suho ingin melempar piring yang ada di meja ke arah Suga, namun kegiatannya harus dihentikan oleh Neulmi yang kini menahan bahunya. “Oppa, sa–sabar.”

Suho menghela napas berat. Neulmi kembali nyeletuk. “Da–daripada di–di–dilempar mendingan di–dimakan dulu ma–makanannya.”

Mendengarkan nasihat Neulmi, Suho pun mulai melahap makanannya, melupakan fokusnya pada Taerin sejenak. Neulmi ikutan makan, dari tadi emang makan mulu dia. Suho melirik ke arah Neulmi sejenak, lalu menyadari ada nasi yang tersangkut di rambutnya sangking brutalnya ia makan.

Suho pun menggeleng-gelengkan kepalanya heran, ini anak udah SMA makannya masih aja berantakan. “Neulmi!”

Neulmi pun menolehkan kepalanya pada Suho, masih dengan mulut yang penuh makanan. “Hm?”

Suho menunjuk nasi yang ada di rambut Neulmi. “Itu ada nasi di rambut lu.”

Neulmi langsung gelagapan mencari nasi di rambutnya. “Ma–mana? Mana?”

Suho mendecakkan lidahnya. “Itu!”

Jengah, Suho pun mengambil nasi yang ada di rambut Neulmi perlahan. Neulmi yang tadinya gelagapan kini terdiam, biar Suho mudah ngambil nasinya.

Prang!

Belum sempat Suho menarik nasi dari rambut Neulmi, terdengar suara gelas yang diletakkan secara kasar di meja arah serong kiri mereka. Suho dan Neulmi pun sontak mengalihkan pandangan mereka ke arah asal suara, dengan tangan Suho yang masih bertengger di rambut Neulmi.

Di sana, Taerin sedang terdiam menatap mereka berdua. Ia tidak percaya apa yang ia lihat saat ini. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya pada Suho, tapi ia merasa tidak seharusnya ia melihat pemandangan seperti ini. Ia tidak menyukainya. Ia tidak ingin melihatnya. Entah kenapa hatinya terasa sakit.

Asek.

Suho dan Neulmi juga hanya bisa terdiam, mereka tidak tau bagaimana caranya untuk menyelamatkan situasi ini. Neulmi mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Taerin, seolah-olah berkata kalau ini tidak seperti yang ia pikirkan. Suho membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, namun Taerin terlanjur memalingkan pandangannya dari mereka.

Suga yang duduk di depan Taerin hanya bisa menatapnya heran. “Kamu kenapa?”

Taerin terdiam sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Suga. “G–gak papa, oppa.”

Suho buru-buru menurunkan tangannya dari rambut Neulmi. Ia seharusnya tidak melakukannya. Ia seharusnya tidak membuat situasinya menjadi lebih rumit. Seharusnya kesalahpahaman ini tidak terjadi. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

Neulmi menggigit bibir bawahnya, bingung harus bagaimana. Mengapa ia harus terlibat dalam situasi seperti ini? Terlebih lagi terlibat dengan temannya sendiri, dengan Taerin. Walaupun Taerin tidak pernah bercerita apapun tentang perasaannya, tapi Neulmi tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari ada sesuatu antara Taerin dan Suho. Dan kini ia membuat situasinya semakin rumit.

Neulmi pun melirik Suho yang terlihat lebih kacau darinya. Merasa bersalah, Neulmi pun mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, menghindari Suho. Neulmi membelalakkan matanya ketika melihat seseorang di antara meja-meja di tengah foodcourt, ia tidak menyangka bahwa dunia sesempit ini. Sosok itu, D.O, terdiam melihatnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, Neulmi tahu bahwa ini bukan pertanda baik. Detik itu juga ia menyesal telah mengalihkan pandangannya ke sana.

Neulmi tidak tahu bagaimana situasi dan hubungannya dengan D.O sekarang setelah kejadian di perpustakaan tempo hari. Tapi ia tahu bahwa dengan melihatnya bersama Suho sekarang tidak membuat situasinya menjadi semakin baik, bahkan mungkin semakin buruk. Tatapan D.O sekarang seolah-olah terluka. Mengapa situasinya menjadi semakin rumit? Mengapa banyak orang yang terlibat dalam kesalahpahaman ini?

Neulmi benar-benar ingin membenturkan kepalanya ke meja.

D.O yang memang kebetulan sedang menemani ibunya belanja dan tadinya sedang ingin duduk di salah satu kursi di foodcourt masih terdiam. Ia tidak mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. Seingatnya, beberapa hari yang lalu Neulmi menyatakan perasaannya padanya. Namun mengapa saat ini ia malah sedang melakukan adegan ala-ala sinetron dengan cowok lain? Dengan Suho?

D.O merasa dipermainkan. Ia menyesal mengapa dengan mudahnya mempercayai pengakuan Neulmi. Bahkan hubungannya dengan Neulmi sampai saat ini belum jelas. Tapi di satu sisi ia juga tidak ingin hubungannya dengan Neulmi bertambah buruk, terlebih lagi setelah membuat Neulmi marah di perpustakaan tempo hari.

Dan ia juga entah kenapa tidak ingin kehilangan Neulmi.

Nayoung sekuat tenaga menahan beban tubuhnya dan menjaga keseimbangan sembari berpegangan erat pada Key ketika mereka memasuki ball room hotel tempat resepsi pernikahan Tante Boa dilaksanakan. Kebaya yang melekat ditubuhnya serta konde di kepalanya semakin membuatnya susah berjalan. Ditambah make up tebal di wajahnya yang membuatnya ingin menggaruk wajah secepatnya. Mengapa ia harus terjebak dalam keadaan seperti ini?

“Duh, oppa, pelan-pelan dong jalannya! Susah nih!” Nayoung ngedumel.

“Siapa suruh telat?” Key tidak mengindahkan dumelan Nayoung sama sekali dan tetap berjalan tanpa memelankan temponya.

Nayoung mendengus sebal.

Ketika sudah masuk ke dalam, mereka pun langsung disambut oleh seluruh anggota keluarga mereka yang mana kebayanya seragam dengan yang dikenakan Nayoung. Nayoung pun langsung dituntun menuju stan pempek yang harus ia jaga, sementara Key bantuin jadi tukang parkir(?). Nayoung pun langsung mendudukkan dirinya ketika melihat ada kursi di balik stan yang ia jaga. Setidaknya untuk sekarang ia bisa duduk dan mengistirahatkan tumitnya yang serasa mau copot.

Sepertinya belum banyak tamu undangan yang datang, terlihat dari hanya segelintir orang yang datang ke stan pempek Nayoung. Nayoung sekuat tenaga berusaha ramah dan menahan wajah empetnya ketika tamu-tamu undangan datang ke stannya. Gimana gak empet? Udah panas, gatel, pegel, harus ngelayanin orang yang mau makan pempek lagi.

Bosen dan mumpung lagi gak ada tamu undangan yang mampir ke stannya, Nayoung pun memutuskan untuk ikut nyemilin pempek yang ada di stannya. Sambil menyelam minum air. Dasar mengambil kesempatan dalam kesempitan *Nayoung: Iri bilang!*.

“Mbak, mau pempeknya, dong!”

“Oh, iya–“

Nayoung hampir saja menyemburkan pempek serta cuka yang ada di mulutnya ketika melihat seseorang yang baru saja berbicara padanya. Ia tidak mengenal gadis itu, namun wajahnya begitu familiar. Ia seolah-olah melihat dirinya sendiri, namun dalam versi lebih feminine. Ia membelalakkan matanya, begitu juga gadis itu. Gadis itu terlihat kaget, sama seperti dirinya. Nayoung sempat berpikir apakah ia dan gadis itu adalah putri yang tertukar seperti di sinetron kesukaannya.

Nayoung mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba tersadar, sebelum mengambil pempek yang sudah ditaruh di mangkuk kecil lalu menyodorkannya pada gadis itu. “I–ini.”

Gadis itu mengambilnya ragu. “Ma–makasih, ya.”

Nayoung hanya mengangguk canggung. Ia sedikit terjengkat ketika dirasakannya ada yang menoel bahunya. Salah satu sepupunya berkata untuk gantian shift sementara Nayoung bisa makan dulu. Nayoung pun mengiyakan perkataan sepupunya itu lalu berlalu dari sana menuju prasmanan. Tau aja dia lagi laper.

Nayoung pun semakin napsu ketika dilihatnya makanan-makanan di prasmanan yang aduhai menggoda. Apalagi itu gurame balado kesukaannya. Ia pun berbaris bersama tamu undangan yang lain sembari mengambil satu per satu lauk yang ada di prasmanan. Hingga akhirnya ia sampai pada gurame balado incarannya. Ia pun buru-buru menusukkan garpunya pada potongan gurame yang hanya tersisa satu itu. Ia melotot ketika ada garpu lain dari barisan seberang meja yang juga sedang menusuk potongan gurame balado itu. Ia pun buru-buru mendongakkan kepalanya, ingin memelototi seseorang yang seenak jidat ingin mengambil gurame incarannya.

Matanya semakin melotot ketika melihat saingannya dalam mendapatkan gurame itu. Byun Baekhyun berdiri di depannya, menatapnya, dan mengincar gurame miliknya. Baekhyun terlihat kaget, sama seperti Nayoung.

“Yoo–“ Baekhyun menghentikan perkataannya ketika disadarinya bahwa seseorang di depannya ini bukan seseorang yang ia pikirkan. Ia hampir saja tidak mengenali Nayoung. Penampilan Nayoung saat ini benar-benar membuatnya semakin mirip dengan Yooyoung. “Kok lu ada di sini, sih?” ujar Baekhyun tanpa menggerakkan tangannya sedikitpun dari gurame.

“Ini kawinan tante gua, lu yang ngapain disini?”

“Disuruh nyokap ikut kondangan temennya.”

“Sekarang mending lu jauhin tuh tangan lu dari gurame gua.” Nayoung mengendikkan dagunya ke arah tangan Baekhyun.

Baekhyun melotot. “Enak aja! Ini gurame gua! Tangan lu tuh yang awas.”

“Sembarangan, jelas-jelas gua yang nusuk gurame ini duluan!”

“Gak usah ngaku-ngaku ya, semua orang juga tau kalo tangan gua lebih gesit nusuk guramenya duluan!”

“Lu tuh jadi cowok gak mau ngalah banget ya sama cewek!”

“Kenapa jadi bawa-bawa gender, sih? Terus juga, sejak kapan lu jadi cewek?”

“Aduh, ini apa sih ribut-ribut?”

Baru saja Nayoung ingin meneriaki Baekhyun, namun kegiatannya itu harus terhenti karena kedatangan salah satu tantenya yang kini sedang meletakkan satu baskom gurame balado ke prasmanan. Nayoung dan Baekhyun pun menatap gurame-gurame itu dengan penuh napsu.

Nayoung melirik Baekhyun sekilas ketika tantenya sudah pergi. “Nih, tuh, ambil aja! Gua udah ikhlas!”

Baekhyun melotot. “Enak aja, lu aja nih yang ini! Gua mau yang itu!”

Sedetik kemudian, Nayoung dan Baekhyun pun sudah berebutan banyak-banyakan ngambil gurame balado ke piring mereka masing-masing. Ini pada gak ada malunya apa?

Setelah puas rebutan gurame, Baekhyun dan Nayoung pun berlalu dari prasmanan dan mencari kursi untuk diduduki. Dikarenakan kursinya di stan pasti lagi didudukkin sepupunya, Nayoung pun terpaksa duduk di kursi tamu. Kini sudah banyak tamu yang datang sehingga kursi sudah hampir penuh oleh tamu-tamu yang sedang makan. Nayoung pun mengedarkan pandangannya mencari kursi sampai akhirnya matanya menangkap sebuah kursi kosong di tengah ruangan.

Ia sedikit terkejut ketika melihat Baekhyun yang sedang duduk sambil makan dengan penuh napsu di samping kursi incarannya. Baekhyun menoleh ke arah Nayoung dan sejenak memberhentikan kegiatan makannya. “Lu ngikutin gua ya?!”

Nayoung menggeplak jidatnya. “Mending gua ngajak ngobrol Limbad dari pada ngikutin lu!”

Mengabaikan Baekhyun dan karena perutnya yang sudah meronta minta makan, Nayoung pun dengan cuek duduk di kursi incarannya, di samping Baekhyun.

Baekhyun menoleh ke arah Nayoung di samping kanannya, ia pun memiringkan kepalanya. “Ngikutin juga gak papa sih. Gua kan banyak sasaeng fans.”

Nayoung masih sibuk makan tanpa memperdulikan perkataan Baekhyun. “Serah lu.”

Baekhyun tersenyum kecil. Ia masih memandangi Nayoung yang sedang makan ketika Nayoung menolehkan kepalanya ke arahnya. Baekhyun tidak bergeming, masih fokus memandangi Nayoung. Ia benar-benar tidak mengerti akan perasaannya saat ini. Apakah keinginannya untuk terus memandangi Nayoung itu semata-mata hanya untuk meredakan rasa rindunya pada Yooyoung atau memang karena Nayoung?

Nayoung mengerutkan keningnya. “Gua tau gua objek yang bagus buat dipandangin, tapi bisa gak, gak usah mandangin gua kalo lagi makan? Ini gua mau mangap lebar-lebar kan jadinya tengsin.”

Baekhyun sekuat tenaga menahan ketawanya. “Sejak kapan juga lu peduli ada yang liat lu mangap lebar-lebar atau enggak? Biasanya juga lu kalo mangap lebar kan.”

“Sejak lu ngeliatin gua makan.”

Baekhyun mengatupkan mulutnya. Ia kembali memandangi Nayoung tepat di matanya, mencoba mencari kebenaran di sana. Nayoung yang sadar akan perkataannya pun buru-buru berpaling dari Baekhyun. Ia pun buru-buru melahap makanannya. Ia harus segera pergi dari sana.

“Apa lu bilang–“

“Baekhyun?”

Belum sempat Baekhyun menyelesaikan perkataannya, terdengar suara seseorang yang memanggilnya. Ia pun buru-buru menolehkan kepalanya ke asal suara. Ia membeku di tempatnya, tidak mempercayai yang ia lihat saat ini. Setelah sekian lama, setelah semua rasa rindu yang menyiksanya, setelah susah payah menghilangkan perasaannya, kini Yooyoung berdiri di depannya sambil memegang sepiring makanan. Yooyoung tampak cantik, dengan gaun malam yang membalut tubuhnya dan rambutnya yang dibiarkan tergerai. Yooyoung tidak pernah gagal membuat Baekhyun terpesona. Namun kini, Baekhyun benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Hatinya kini malah terasa kosong. Mengapa ketika ia sudah mulai bisa melupakannya, Yooyoung malah hadir kembali?

“Yooyoung?”

Yooyoung tersenyum ketika menyadari ternyata Baekhyun masih mengingatnya. “Kamu apa kabar?”

“Ba–baik.”

Yooyoung kembali tersenyum. “Aku seneng kamu baik-baik aja.”

“Aku duduk di sini, ya?” Yooyoung menunjuk kursi di sebelah kiri Baekhyun yang kini sudah kosong. Baekhyun hanya mengangguk kecil.

Setelah sukses duduk di kursi yang ia maksud, Yooyong pun berpaling ke arah Baekhyun. “Baekhyun?”

“Hm?” Baekhyun melirik sedikit ke arah Yooyoung.

Yooyoung berdehem sedikit. “Maaf karena waktu itu aku pergi tiba-tiba.”

Baekhyun mendengus kecil. Entah kenapa hatinya tidak bergetar lagi ketika melihat Yooyoung, gadis yang selama ini ia cari. Ia seperti telah menemukan Yooyoung-nya yang lain. Baekhyun masih melanjutkan kegiatan makannya tanpa menoleh ke arah Yooyoung.

“Udah gak usah dibahas.”

“Kamu tau aku pasti gak akan kuat buat pisah sama kamu, aku juga gak mau nyakitin kamu, makanya aku–“

Baekhyun menghentikan kegiatan makannya. “Dibilang gak usah dibahas.”

“Tapi, Baek–“

Baekhyun mengalihkan pandangannya ke arah Yooyoung. “Kamu sadar gak sih kalo dengan kamu pergi tiba-tiba itu lebih nyakitin aku? Kamu tau gak sih seberapa susah aku nyari kamu?”

Yooyoung terdiam.

Nayoung terkejut ketika mengetahui bahwa gadis yang mirip dengannya, yang Baekhyun sebut Yooyoung, ternyata mengenal dan memiliki hubungan yang rumit dengan Baekhyun. Pikirannya kini mulai ke mana-mana. Ia merasa tidak seharusnya ia ada di sana, di antara mereka berdua. Ini demi kemaslahatan hatinya juga. Ia pun memasukkan suapan terakhir ke mulutnya lalu buru-buru meletakkan piringnya di bawah kursi.

Nayoung pun berdiri dari duduknya. “Oppa, gua duluan ya.”

Baekhyun menoleh ke arah Nayoung kaget, ia baru ingat kalau ada Nayoung di sana. “Udah selesai?”

Nayoung hanya mengangguk kecil sebelum berlalu dari sana, mengabaikan suara Baekhyun yang memanggil-manggilnya.

Baekhyun berdiri dari duduknya. Baru saja Baekhyun ingin mengejar Nayoung sebelum tangan Yooyoung menahannya. Baekhyun menatap Yooyoung kaget.

“Baek, aku belum selesai ngomong sama kamu.”

Baekhyun berusaha melepaskan cengkraman Yooyoung. “Kita bisa omongin soal itu lagi nanti.”

“Kamu mau ke mana sih? Mau ngejer cewek tadi?”

Baekhyun terdiam.

Yooyoung kembali bersuara. “Kamu lebih milih ngejer cewek itu terus ninggalin aku di sini?”

Baekhyun tersenyum kecil. “Yooyoung, semuanya bisa berubah, perasaan aku juga. Kalo kamu dateng sedikit lebih cepet aja, mungkin ini gak akan terjadi. Tadinya aku juga bingung, tapi setelah kamu ngomong ini, aku jadi yakin sama perasaan aku sendiri.”

Yooyoung membelalakkan matanya. Baekhyun melepaskan tangannya dari cengkeraman Yooyoung lalu kembali bersuara sebelum berlalu meninggalkan Yooyoung.

“Maafin aku.”

Nayoung terduduk diam di salah satu bangku panjang di pinggir kolam renang yang terhubung dengan ball room tempat tantenya mengadakan resepsi pernikahan. Heels setinggi sepuluh sentinya itu sudah dilepas dan tergeletak sempurna di sampingnya. Di sana tampak sepi, hanya segelintir tamu yang sedang berbincang-bincang di pinggir kolam. Nayoung memang sedang butuh sendiri saat ini, setelah apa yang ia lihat tadi.

Setelah lama berpikir dan mencoba menghubungkan apa yang sudah ia alami, ia jadi mengerti. Bahwa perubahan sikap Baekhyun kepadanya, semua hal yang Baekhyun lakukan terhadapnya, bagaimana Baekhyun membuat hatinya bergetar, semata-mata karena ia hanya mengingatkan Baekhyun akan Yooyoung, gadis yang selama ini Baekhyun cari.

Ia merasa bodoh telah jatuh pada Baekhyun. Ia seharusnya tidak berharap lebih. Ia hanya pelarian. Dan ketika apa yang Baekhyun cari telah datang, ia akan ditinggalkan, dilupakan. Sebelum Baekhyun melakukan itu semua dan sebelum hatinya lebih hancur, akan lebih baik jika ia pergi terlebih dahulu.

Nayoung menundukkan kepalanya, memandang kakinya yang sudah dihiasi beberapa luka lecet akibat memakai heels. Harusnya sekarang ia kembali berganti shift dengan sepupunya dan kembali menjaga stan pempek. Namun, ia rasanya belum siap menghadapi siapapun saat ini, apalagi Baekhyun. Ia ingin menenangkan pikirannya dulu, juga hatinya.

Nayoung mengerutkan dahinya ketika melihat sepasang sepatu pantofel di depannya. Ia pun buru-buru mendongakkan kepalanya dan menemukan Baekhyun yang sedang berdiri di depannya, menatapnya.

“Lu di sini ternyata.” Baekhyun mendudukkan dirinya di samping Nayoung. Mata Nayoung mengikuti Baekhyun, bingung bagaimana ia bisa menemukannya di sini.

“Lu kenapa tadi pergi tiba-tiba, sih?” Baekhyun menolehkan kepalanya ke arah Nayoung.

Nayoung melirik Baekhyun sekilas sebelum menundukkan kepalanya kembali, menolak menjawab pertanyaan Baekhyun.

Baekhyun menghembuskan napas berat tanpa mengalihkan tatapannya dari Nayoung. “Gua udah pernah ditinggalin pergi tiba-tiba, lu jangan ikut-ikutan juga.”

Nayoung tidak bergeming.

“Yang tadi itu mantan gua.” Setelah semua ketidakjelasan hubungannya dengan Yooyoung, sekarang Baekhyun bisa dengan mantap mengikrarkan bahwa Yooyoung adalah mantannya.

Nayoung menolehkan kepalanya ke arah Baekhyun, menunggu Baekhyun melanjutkan perkataannya.

“Bisa dibilang gua putus sama dia barusan tadi.”

Nayoung melotot.

“Tapi, lost contact-nya udah dari seabad yang lalu.” Baekhyun mengendikkan bahunya. “Gua juga gak nyangka bisa ketemu dia lagi di sini. Sampein makasih gua buat tante lu.”

Nayoung mengerutkan keningnya, masih enggan berbicara dengan Baekhyun.

Baekhyun menatap ke arah depan dengan tatapan kosong. “Setelah susah payah ngedeketin dia sembilan bulan udah kayak ibu hamil, pas dua bulan jadian dia pergi gitu aja, entah ke mana, tanpa ngabarin.”

“Awalnya emang susah banget ngelupain dia, gara-gara itu juga gua belum pernah pacaran lagi sampe sekarang.” Baekhyun menolehkan kepalanya ke arah Nayoung. “Nyampe akhirnya gua ketemu sama cewek yang ngingetin gua ke dia. Awalnya emang setiap ngeliat cewek itu gua selalu kepikiran Yooyoung.”

Nayoung mengerjapkan matanya beberapa kali, bingung harus bereaksi bagaimana.

Baekhyun tersenyum kecil. “Nyampe akhirnya gua gak tau lagi alesan gua selalu pengen di deket cewek itu karena Yooyoung atau karena hal lain.”

“Tapi, setelah kejadian hari ini, entah kenapa gua jadi sadar dan yakin banget kalo alesannya itu hal lain.”

Baekhyun menatap Nayoung tepat di mata sambil menahan senyum. “Mau gua kasih tau gak hal lainnya apa?”

Nayoung tersenyum, balik menatap Baekhyun. Perlahan, ia menganggukkan kepalanya.

Seulra menatap Qian yang tertidur pulas di pangkuannya. Ia kini sedang duduk di salah satu bangku panjang di taman kota. Ia masih di sana, menunggu Lay yang tak kunjung datang. Hari sudah malam, cuaca juga jadi makin dingin. Walau Qian sudah memakai jaket, ia tetap khawatir gadis kecil itu akan kenapa-napa kalau terlalu lama berada di luar pada malam hari seperti ini. Karena dia juga sudah mulai kedinginan sih. Ia tidak menyangka akan berada di luar sampai semalam ini, makanya ia tidak membawa jaket. Sampai sekarang ia masih menggunakan seragam sekolahnya yang tentunya tidak memberinya kehangatan, malah dingin karena roknya yang pendek.

Ia sudah menelepon Lay berkali-kali, tetapi tidak diangkat. Sepertinya Lay benar-benar main menggantikan Minho. Ia mulai kesal, sampai kapan ia harus menunggu di sini? Mana ibunya meneleponnya beberapa kali menanyakan keberadaannya. Ia harus buru-buru pulang.

Seulra mengelus kepala Qian yang masih terlelap di pangkuannya. Ketika ia mengalihkan pandangannya ke depan, Lay sudah berjalan ke arahnya. Ia juga melihat mobil Lay yang sudah terparkir di depan taman kota. Ia tidak tahu kapan Lay datang hingga kini ia sudah berdiri di depannya. Ia sedikit merasa lega ketika Lay sudah datang.

Seulra mendongakkan kepalanya menatap Lay yang kini juga sedang menatapnya. Ia ingin marah, tapi ia bisa melihat lelah dari raut wajah Lay.

“Kok bisa lama banget sih? Gak tau apa gua sama Qian beku di sini–“

Seulra terdiam ketika Lay membuka jaketnya dan menyampirkannya di bahu Seulra. Tiba-tiba, kata-kata yang disiapkannya untuk disemprotkan ke Lay hilang seketika. Pikirannya terasa kosong.

“Katanya dingin.” Jeda sejenak sebelum Lay melanjutkan perkataannya. “Jangan geer, kalo lu sakit entar siapa yang bisa gua jadiin babysitter dadakan.”

Baru saja Seulra ingin terbang bersama paus raksasa lalu mendarat di awan, ia langsung memasang wajah empet ketika mendengar perkataan Lay selanjutnya.

“Lu tuh gak di sini, gak di pos ronda, kedinginan mulu. Dasar perempuan haus akan kehangatan.”

Seulra melotot. Wajahnya makin empet.

Lay mengangkat tubuh Qian yang tertidur di bangku taman lalu menggendongnya. “Ayok, gua anter pulang.”

Lay berjalan mendahului Seulra menuju mobilnya. Seulra memandang Lay tidak percaya. Orang ini bisa tiba-tiba baik, terus bisa berubah jadi ngeselin lagi. Seulra sempat berpikir jangan-jangan Lay mengidap bipolar(?).

Seulra menyusul Lay yang sudah berjalan mendahuluinya menuju mobil. Seulra langsung masuk dan duduk di kursi penumpang sementara Lay membaringkan Qian terlebih dahulu di kursi penumpang bagian belakang. Seulra menoleh ke arah Lay sekilas ketika Lay masuk dan terduduk di kursi pengemudi di sampingnya.

Mungkin karena Seulra kelelelahan, setelah piket membersihkan kelas, menemani Eunri nonton pertandingan basket, dan menemani Qian bermain di taman, tanpa sadar Seulra tertidur di tengah perjalanan pulang. Lay sedikit terenyuh ketika ia menolehkan kepalanya ke arah Seulra dan menemukannya terlelap pada saat memberhentikan mobilnya di lampu merah. Ia agak merasa bersalah, pasti Seulra sangat lelah.

Jika Lay pikir-pikir, wajah Seulra ketika tidur benar-benar polos seperti anak kecil, tidak terlihat muka-muka mafia yang biasa ia tunjukkan. Lay tersenyum kecil sebelum kembali memfokuskan pandangannya ke jalan ketika lampu lalu lintas sudah berganti warna menjadi hijau.

Lay sedikit ragu untuk membangunkan Seulra ketika mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah Seulra. Seulra masih tak bergeming. Tapi apa boleh buat, Seulra harus pulang dan ia juga harus pulang, ia kasian dengan Qian juga yang sepertinya tidak terlalu nyaman tidur di mobil. Walau ia masih ingin memandangi Seulra lebih lama.

“Seul, bangun.” Lay sedikit mengguncangkan tubuh Seulra.

Seulra bergumam tak jelas sampai akhirnya ia membuka matanya, walau awalnya masih merem melek dulu. Ia menatap Lay heran, seakan sebal karena Lay mengganggu waktu tidurnya.

“Udah nyampe.” Lay kembali bersuara.

Seulra buru-buru menolehkan kepalanya ke kiri dan menemukan rumahnya di sana. Lama kelamaan ia pun mulai sadar sepenuhnya. “Gua ketiduran ya?”

“Masih berani nanya?”

Seulra mencebikkan bibirnya lalu mengalihkan pandangannya ke arah Lay. “Ya udah, gua duluan ya oppa.”

Seulra mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil Lay ketika teringat akan sesuatu. “Eh iya, ini jaket lu–“

“Udah, pake aja dulu.”

“Tapi–“

“Udah malem, mending lu buruan masuk.”

Lay merasa ia harus memiliki alasan untuk menghubungi Seulra lagi. Asek.

Merasa perkataan Lay ada benarnya, Seulra pun menurut. “Ya udah, gua masuk dulu. Lu juga hati-hati nyetirnya udah malem.”

Setelah melihat anggukan dari Lay, Seulra pun keluar dari mobil. Ia berniat untuk menunggu mobil Lay pergi baru ia akan masuk ke dalam rumah, namun mobil Lay tak kunjung beranjak dari sana. Ia mengernyitkan dahinya ketika Lay menurunkan kaca jendela mobilnya.

“Lu masuk duluan baru gua pergi.”

Seulra ambyar.

Eunri buru-buru turun dari tribun ketika pertandingan sudah selesai. Ia langsung menghampiri Minho yang terbaring di bawah tribun, tempat tim basket sekolah mereka berkumpul. Ia melihat anggota-anggota tim basket sekolah mereka yang duduk di sekitar beberapa pemain yang cedera, termasuk Minho. Namun ia tidak melihat Chanyeol di sana. Padahal seingatnya, Chanyeol bertahan sampai akhir. Ia juga melihat Lay yang sedang terburu-buru bersiap-siap untuk pergi. Ia sedikit bingung ketika melihat Lay bermain di akhir pertandingan, bukannya ia harusnya bersama Seulra?

“Lay oppa, lu bukannya tadi pergi sama Seulra?”

“KAMU TUH OPPA-NYA LAGI CEDERA BEGINI MALAH NANYAIN ORANG LAIN DULUAN!”

Eunri mendelik ke arah Minho dan mendecakkan lidahnya. Ia kembali mengalihkan pandangannya ke arah Lay yang kini sudah mulai berjalan ke pintu keluar.

Lay melirik Eunri sekilas. “Ini lagi mau gua jemput.”  Lalu Lay mengalihkan pandangannya ke arah Pak Changmin yang sedang berbincang dengan pelatih dari sekolah lain. “Pak, saya duluan ya.”

Setelah mendapat anggukan dari Pak Changmin, Lay pun berlalu keluar GOR.

Eunri mengerutkan dahinya. Terus tadi dia bawa Seulra pergi kemana? Terus Seulra ditinggal sendiri gitu? Macam mana.

Eunri mengendikkan bahunya tidak mau ambil pusing. Ia tau Seulra akan menceritakan semuanya padanya nanti. Ia pun kembali menolehkan kepalanya ke arah Minho, melihat keadaan kakaknya itu. “Jadi oppa gimana?”

“GIMANA APANYA? GAK LIAT NIH KAKI?” Minho nunjuk-nunjuk kakinya emosi.

Eunri memicingkan matanya. Ia bingung kini ia lebih emosi pada orang yang membuat Minho cedera atau pada Minho sendiri. “COBA TUNJUKIN DULU MANA YANG BERANI-BERANINYA BIKIN OPPA CEDERA!” Eunri menggulung lengan bajunya sok preman.

Sontak, Minho pun menahan lengan Eunri yang sudah ingin beranjak pergi menghajar orang yang membuat Minho cedera. Beberapa pemain basket sekolah mereka yang lain pun ikutan mencegah Eunri.

“Eh eh eh, gak usah, Eun, gak usah. Oppa udah gak papa kok, seriusan.”

Eunri pun menghembuskan napas berat lalu kembali mengalihkan pandangannya ke Minho yang sedang cengar-cengir gak jelas. “Ya udah kalo gitu ayok kita pulang aja.”

“Gak bisa, Eun, oppa mau ke rumah sakit dulu ini.”

“Ya udah, aku ikut oppa ke rumah sakit dulu aja.”

“GAK! Gak baek cewek keluar malem-malem!”

Eunri melotot. “Terus kalaupun aku pulang gimana caranya?”

Minho mendecakkan lidahnya. “Duh, appa pake lembur segala lagi.”

Eunri menghela napas berat. “Ya udah deh, aku naek angkot aja.”

Minho melotot selebar-lebarnya. “GAK! GAK! GAK! Jangan coba-coba kamu naek angkot malem-malem, sendirian lagi!”

“Ya terus gimana dong?!”

Minho mengangkat telapak tangannya seolah menahan Eunri. “Entar, oppa mikir dulu.”

Minho menjentikkan jarinya ketika dilihatnya Chanyeol yang sedang berjalan ke arah mereka dari arah toilet. Seketika, muncul obor di atas kepalanya. Eunri mengikuti arah pandang Minho dan menemukan Chanyeol yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka, Chanyeol juga sedang melihat ke arah Eunri ketika Eunri menolehkan kepalanya. Eunri pun buru-buru membuang pandangannya ke arah lain.

“Pas banget lu dateng, Yeol. Tolong anterin Eunri pulang dong! Kan rumah kita searah.”

Eunri langsung melotot ke arah Minho. “Oppa!”

Mengabaikan perkataan dan cubitan yang dilayangkan Eunri di lengannya, Minho pun kembali bersuara. “Gak papa kan, Yeol? Lu tau kan gua gak mungkin bisa nganterin dia?” Minho melirik kakinya.

“Ya udah sekalian gua juga mau balik. Tapi gua udah ada janji mau nganterin Namjoo juga, gak papa?” Chanyeol beralih menatap Eunri.

Oppa, ayok pulang.”

Eunri melirik Namjoo yang datang dari arah belakang Chanyeol. Ogah banget gua jadi nyamuk ngeliatin mereka berdua mesra-mesraan. Cih.

Namjoo mengerutkan dahinya melirik Eunri seolah tidak suka.

“Iya, bentar.” Chanyeol melirik Namjoo sekilas lalu kembali menatap Eunri, menunggu jawaban.

Eunri kembali mengalihkan pandangannya ke arah Chanyeol. “Gak usah, gak papa, gua naek angkot aja.”

Minho melotot. “Gak oppa bolehin dibilangin!”

Eunri balik melotot ke  arah Minho.

“Eun, mending lu ikut gua. Ini udah malem, gak baek lu naek angkot sendirian.”

Eunri menghela napas berat setelah mendengar perkataan Chanyeol. Apa boleh buat, tidak ada jalan lain selain nebeng sama Chanyeol. Eunri pun menganggukkan kepalanya pasrah. Lebih gak baek lagi kalo satu mobil sama lu berdua sih sebenernya, gak baek buat hati gua.

Setelah melihat anggukan dari Eunri, Chanyeol pun buru-buru mengambil ranselnya. “Ya udah, ayok pulang sekarang.”

Eunri pun melirik Minho yang terlihat sangat puas sudah membuat adiknya nurut. “Oppa, aku pulang duluan, ya.”

Setelah melihat anggukan dari Minho, Eunri pun berlalu menyusul Chanyeol dan Namjoo yang sudah berjalan duluan di depannya. Ia menatap Chanyeol dan Namjoo dari belakang dengan tatapan empet. Ia harus sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak nyerobot ke tengah-tengah mereka berdua.

Ketika sudah sampai di depan mobil Chanyeol lalu Chanyeol membuka kunci mobilnya, Namjoo pun langsung buru-buru masuk dan duduk di kursi penumpang di samping kursi pengemudi. Eunri pun mengerutkan keningnya heran. DIH MAKAN TUH DUDUK DI SAMPING CHANYEOL OPPA!

Eunri sedang mendelik ke arah Namjoo ketika suara Chanyeol yang sedang membuka pintu mobil di kursi pengemudi mengangetkannya. “Gak masuk?”

Eunri tersentak kaget. “Hah? Euh–iya.”

Eunri pun langsung buru-buru masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang bagian belakang. Ia melihat Namjoo yang sedang berlagak kesusahan dalam menarik seatbelt.

Oppa ini seatbelt-nya agak macet ya? Aku susah nariknya soalnya.” Namjoo merengek ke arah Chanyeol yang baru selesai memakai seatbelt.

Eunri rasanya mau muntah.

“Hah? Masa sih?” Chanyeol pun mencoba membantu Namjoo menarik seatbelt-nya hingga terpasang sempurna. “Ini bisa.”

“Eh iya, kok bisa, hehe.” Namjoo cengar-cengir cengengesan.

Eunri menutup mulutnya menggunakan telapak tangannya sembari menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya akan adegan tidak senonoh di depannya itu. DASAR WANITA KERDUS!

Chanyeol menjalankan mobilnya membelah jalanan yang lumayan ramai. Eunri bisa melihat Namjoo yang terus-terusan menatap Chanyeol. Ia harus menahan dirinya untuk tidak melempar sepatunya ke wajah Namjoo yang sangat jelas menyiratkan kalau ia menyukai Chanyeol.

“Aku suka banget sama lagu ini.” Namjoo bersuara ketika lagu di radio berganti menjadi lagu romantis.

Chanyeol hanya bergumam ‘Oh’ sambil masih memfokuskan dirinya pada jalanan di depannya yang mulai macet.

Eunri mulai mules melihat adegan tidak senonoh yang terus menerus terjadi di depannya. Mendingan tidur deh. Karena sudah muak dan sudah lelah juga, Eunri pun memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak sembari bersandar pada kursi.

“Eunri, jangan tidur. Entar bangun-bangun udah dipinggir jalan.” Chanyeol terkekeh.

Eunri pun langsung melek kembali ketika mendengar perkataan Chanyeol. Eunri pun langsung mendelik sebal ke arah Chanyeol yang sedang melihatnya melalui kaca spion dalam.

“Bodo amat!” Eunri pun kembali menegakkan tubuhnya.

Chanyeol sekuat tenaga menahan ketawa. Eunri masih memasang wajah empet. Namjoo yang hanya bisa melihat adegan di depannya mendelik sebal ke arah Eunri.

Oppa, entar anterin Eunri duluan aja. Aku gak papa kok, aku udah izin sama eomma.” Namjoo nyeletuk sambil menatap Chanyeol yang masih sibuk nyetir, ia mendelik kea rah Eunri sekilas.

Kerutan di dahi Eunri makin berlipat. Ini anak niat banget sih pengen berduaan sama Chanyeol oppa.

Chanyeol mengerutkan dahinya. “Mending nganterin kamu duluan deh, rumah oppa sama Eunri kan searah. Lagian ini lagi macet, ribet kalo mau bolak-balik.”

Entar dulu, ini mereka beneran ngomongnya pake aku-kamu? Beuh, udah pacaran beneran ini jangan-jangan.

Eunri tersenyum penuh kemenangan ketika melihat wajah empet Namjoo. Ia pun menaik turunkan alisnya ketika Namjoo mendelik sebal ke arahnya.

Namjoo mendecakkan lidahnya sambil melipat lengannya di depan dada. “Ya udah deh.”

Chanyeol melirik sekilas ke arah Namjoo untuk mengecek ekspresinya. Ia menghela napas berat ketika melihat wajah empet Namjoo. Apa boleh buat, setiap pilihan memang ada resiko. Dan ia memilih Eunri………………….. untuk dianter terakhiran.

Chanyeol menepikan mobilnya di depan rumah Namjoo. Chanyeol memperhatikan Namjoo yang sedang melepaskan seatbelt-nya. Namjoo pun menoleh balik menatap Chanyeol.

“Makasih ya, oppa, buat semuanya. Makasih udah NGASIH AKU TIKET sama NGANTERIN AKU PULANG.” Namjoo menekankan kebaikan Chanyeol padanya sambil mendelik sombong kea rah Eunri. Namjoo tersenyum manis ke arah Chanyeol, Chanyeol hanya membalas tersenyum seadanya.

Kerutan di dahi Eunri makin berlipat-lipat. Niat banget mau pamer ini anak, cuih.

“Ya udah, aku duluan ya, oppa.” Setelah melihat anggukan dari Chanyeol, Namjoo pun keluar dari mobil.

Namjoo menundukkan kepalanya melihat melalui kaca mobil. “Oppa jalan duluan aja, entar aku baru masuk.”

“Kamu aja yang masuk duluan baru oppa pergi.”

Eunri rasanya ingin boker di tempat. Kapan adegan drama menjijikkan di depannya ini berakhir?

Namjoo tersipu malu, ia pun tersenyum manis ke arah Chanyeol lalu melambaikan tangannya. “Ya udah deh, aku masuk duluan ya.”

Setelah memastikan kalau Namjoo sudah masuk ke dalam rumahnya, Chanyeol pun menolehkan kepalanya ke arah Eunri. “Pindah ke depan.”

Eunri mendelik ke arah Chanyeol.  “Gak mau! Entar pas gua turun, lu kunci lagi pintu mobilnya.”

Kok dia bisa baca pikiran gua?

Chanyeol menghela napas berat. “Enggak, elah. Suudzon aja lu.”

Eunri pun menurut karena ia tahu Chanyeol akan terlihat seperti supir kalau ia tetap duduk di belakang. “Awas lu kalo dikunci.”

“Iya iya.”

Eunri pun keluar dari mobil, berniat pindah kursi. Ketika ia ingin membuka pintu kursi penumpang di samping kursi pengemudi, nyatanya pintu itu dikunci. Ia pun mendelik sebal ke arah Chanyeol yang sudah tertawa dengan jumawanya di dalam sana. Ia pun mengetuk-ngetuk kaca mobil frustasi.

Eunri pun buru-buru masuk ketika Chanyeol membuka kunci mobilnya. Chanyeol masih berusaha sekuat tenaga menahan ketawanya ketika Eunri masuk. Eunri pun mencoba menarik seatbelt-nya, berusaha untuk memasangnya.

“Nyampe gak?” Chanyeol kembali meledek Eunri, mengingat tangan Eunri yang tergolong pendek karena tubuhnya juga yang mungil.

Eunri mendelik sebal ke arah Chanyeol. “BODO AMAT!”

Tawa Chanyeol kembali pecah. Eunri memasang wajah empet sambil melipat lengannya di depan dada ketika sudah selesai memasang seatbelt. Chanyeol mengacak rambut Eunri sejenak ketika sudah berhasil menghentikan tawanya.

“Ngambek mulu dah.”

Setelah berkata begitu, Chanyeol pun mulai menjalankan mobilnya, sambil tersenyum tentunya. Ia tidak tahu kalau menyetir mobil bisa semenyenangkan ini.

Eunri membeku di tempatnya. BERANI-BERANINYA DIA NGACAK RAMBUT GUA? DUH, JANTUNG GUA MAU KELUAR.

Eunri melotot ketika disadarinya bahwa Chanyeol berbelok ke arah yang salah. “Loh? Harusnya kan lurus?”

“Kita makan dulu. Gua laper nih capek abis tanding basket, lu juga pasti belum makan, kan?” ujar Chanyeol sambil menepikan mobilnya di salah satu café.

Eunri bengong mendengar perkataan Chanyeol. Ini dia ngajak gua makan?

Eunri tersadar dari bengongnya ketika dirasakannya seatbelt yang tertarik dengan cepat ke arah kirinya. Ini pasti ulah Chanyeol. Eunri pun mendelik sebal ke arah Chanyeol yang sedang sibuk tertawa.

“Ayok turun.” Ujar Chanyeol ketika tawanya sudah mulai berhenti.

“BODO AMAT!”

Tawa Chanyeol kembali pecah ketika melihat wajah empet Eunri. Chanyeol pun keluar dari mobilnya mendahului Eunri. Ia pun berinisiatif membukakan pintu mobil ketika dirasakannya Eunri tak kunjung keluar.

“Lu lagi PMS ya?”

Eunri yang masih duduk pun melotot ke arah Chanyeol. Chanyeol sekuat tenaga menahan ketawanya.

“Ayok deh.” Chanyeol pun dengan seenak jidat menarik tangan Eunri lalu menuntunnya masuk ke dalam café.

Eunri makin melotot, sekuat tenaga ia menahan jantungnya yang rasanya mau copot. APA-APAAN? BERANI-BERANINYA DIA MEGANG TANGAN GUA?

Setelah memesan makanan, Chanyeol dan Eunri pun terduduk di salah satu meja di tengah-tengah ruangan. Eunri pun berpangku tangan, menopang wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil masih memasang wajah empet.

Chanyeol pun mengikuti Eunri dengan berpangku tangan juga. “Masih ngambek?”

Eunri hanya mendelik ke arah Chanyeol yang duduk di depannya sebal.

“Ini udah hari ke berapa?”

“Kedua.” Eunri menjawab masih dengan nada sebal.

“Hm, pantes lagi galak-galaknya.”

Eunri makin melotot ke arah Chanyeol yang kini sedang cengar cengir cengengesan. Eunri dan Chanyeol pun menegakkan badan mereka ketika makanan pesanan mereka datang.

Chanyeol menepuk-nepuk kepala Eunri sejenak ketika Eunri menunduk hendak melahap makanannya. “Makan yang banyak biar cepet tinggi.”

Chanyeol terkekeh sejenak sebelum mulai melahap makanannya.

Eunri ambyar. Gimana dia bisa menelan makanannya dengan tenang kalo jantungnya aja gak beda jauh sama bedug takbiran?

Eunri pun buru-buru melahap makanannya agar ia bisa segera pergi dari sana. Chanyeol yang melihat Eunri makan pun hanya bisa mendecakkan lidahnya.

“Lu tuh makan masih kayak bocah banget sih? Liat tuh, sausnya sampe ke pipi.” Chanyeol pun mengelap noda saus di pipi Eunri dengan ibu jarinya.

Eunri melotot. “Ya udah makan sama pacar lu aja sana!”

Chanyeol mengerutkan keningnya. “Hah? Pacar yang mana?”

“Ya Namjoo lah, yang mana lagi?”

Chanyeol mendengus menahan tawanya. “Sejak kapan gua pacaran sama Namjoo?”

“Ya gua mana tau kapan lu sama Namjoo jadian.”

Chanyeol tersenyum geli melihat wajah cemberut Eunri sekarang. “Gua gak pacaran sama Namjoo, oke?”

Eunri menaikkan sebelah alisnya. “Gak usah ngelak, oke? Dari cara lu berdua yang ngomongnya pake aku-kamu aja udah keliatan.”

Chanyeol harus sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mencubit pipi Eunri, sikap Eunri yang seperti ini justru terlihat menggemaskan di mata Chanyeol. “Dia dari awal ngomong sama gua pake aku-kamu, ya gua gak enak dong, masa dia ngomongnya pake aku-kamu gua jawabnya pake gua-lu. Jadi ya terpaksa gua pake aku-kamu juga.”

Eunri berdehem sejenak. “Kalo lu sama Namjoo gak pacaran, terus kok lu ngasih dia tiket?”

“Dia yang minta, masa iya gak gua kasih? Lagian bagus kan kalo supporter sekolah kita rame.”

Eunri mengerjapkan matanya beberapa kali sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oh, gitu.”

Alhamdulillah, hehe.

Chanyeol sekuat tenaga menahan senyumnya ketika melihat Eunri yang lagi tengsin sebelum kembali melanjutkan makannya.

Hari hujan ketika Chanyeol dan Eunri selesai melahap makanan mereka. Mereka hanya bisa menatap rintik hujan ketika sudah sampai di depan pintu café. Jarak antara pintu café dan parkiran memang tidak terlalu jauh, namun dengan derasnya hujan saat ini mereka akan tetap basah kuyup jika nekat menerobos hujan. Tapi hari sudah malam, mereka harus pulang.

“Ini mau gimana? Mau nerobos aja atau mau nunggu dulu?” Chanyeol mengalihkan pandangannya ke Eunri yang berdiri di sampingnya.

“Langsung aja, gua bawa payung kok.” Ujar Eunri sembari sibuk merogoh isi tasnya. Semenjak kejadian ujan-ujanan beberapa hari lalu, Eunri jadi selalu tidak lupa untuk membawa payung di tasnya.

Eunri langsung menarik keluar payung yang ada di tasnya ketika tangannya berhasil menemukan benda tersebut. Ia pun buru-buru membuka payung tersebut.

Chanyeol tercekat ketika melihat payung yang sudah terbuka sempurna di tangan Eunri. Ia merasa familiar dengan payung tersebut. Ia membelalakkan matanya ketika dilihatnya tulisan ‘Dobi’ di salah satu sisi payung tersebut. Dobi adalah nama panggilannya ketika kecil, ia ingat tulisan ‘Dobi’ yang ada di payung itu adalah tulisan ibunya. Bagaimana payung itu bisa ada pada Eunri? Bukannya terakhir kali payung itu tertinggal di halte? Bukannya waktu itu Eunri sudah pergi?

“Ayok, oppa!”

Chanyeol tidak bergeming ketika Eunri memanggilnya.

Eunri mengerutkan keningnya melihat Chanyeol yang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan. “Lu kenapa, sih?”

“Lu dapet payung itu dari mana?”

“Payung ini?” Eunri melirik ke payung yang ada di tangannya sekilas. “Nemu di halte.”

Chanyeol mengerutkan keningnya. “Lu waktu itu belum pergi?”

“Hah? Ma–maksudnya?”

Chanyeol membuang napasnya perlahan. “Itu payung gua.”

Eunri membelalakkan matanya. “Jadi Dobi ini maksudnya lu?”

Chanyeol menganggukkan kepalanya. “Itu nama kecil gua.”

Eunri memejamkan matanya sejenak, mencoba menghubungkan sekelibat kemungkinan yang ada di pikirannya. “Entar dulu, jadi lu balik lagi?”

“Lu kemana waktu itu?”

Chanyeol menatap tepat di mata Eunri. Eunri rasanya mau ambyar. Kalau tau kenyataannya begini, ia pasti tidak akan ngambek, apalagi marah sama Chanyeol.

“Gu–gua ke toilet warteg.”

“Tapi lu pulang pake payung ini kan?”

Eunri menganggukkan kepalanya.

Chanyeol menghela napas lega. “Seenggaknya walaupun gua gak ketemu sama lu, lu ketemu sama payung ini.”

Eunri menundukkan kepalanya. “Makasih.”

Chanyeol mensejajarkan kepalanya dengan kepala Eunri sambil tersenyum geli. “Hah? Lu bilang apa tadi?”

Eunri menegakkan kepalanya lalu mendelik sebal ke arah Chanyeol. “Makasih udah balik lagi.”

Chanyeol menegakkan tubuhnya, sekuat tenaga menahan senyumnya. Ia lalu menarik payung yang ada di tangan Eunri.

“Sini, gua ambil lagi payungnya.”

Eunri melotot.

“Lagian lu kan udah gak butuh payung ini lagi.” Chanyeol melanjutkan perkataannya.

Eunri menatap Chanyeol tidak percaya. Barusan tadi Chanyeol bersikap sangat manis, tau-tau udah nyebelin lagi. Dasar pelit.

Chanyeol balik menatap Eunri lama, perlahan ia menyunggingkan senyumnya.

“Udah ada gua.”

Jantung Eunri sepertinya sudah copot.

Seulra sedang berguling-guling di kasurnya, mencari posisi wuenak untuk tidur. Ia belum bisa tertidur sejak tadi. P adahal ia tahu tubuhnya sangat lelah dan butuh istirahat, tapi pikirannya seolah masih ingin terjaga. Ia masih kepikiran tentang segala perhatian dan sikap manis Lay yang diberikan padanya. Ia mengulum senyumnya sebelum jingkrak-jingkrak gak jelas di kasur.

Ia menepuk-nepuk pipinya perlahan. “Tidur, Seul, tidur.”

Setelah mencoba menyugesti dirinya sendiri, Seulra pun perlahan memejamkan matanya. Ia membuka matanya kembali ketika mendengar bunyi notifikasi dari hapenya yang bertubi-tubi. Ia memang tidak men-silent hapenya jika di rumah. Lagian, siapa juga yang menghubunginya malam-malam begini?

Ia pun susah payah enjangkau hapenya yang terletak di nakas di samping tempat tidurnya. Ia pun buru-buru melihat panel notifikasinya. Ia membelalakkan matanya ketika melihat begitu banyaknya notifikasi yang berasal dari instagramnya. Perasaan ia tidak nge-post foto atau semacamnya, mengapa notifikasinya bisa sebanyak ini?

Ia perlahan membuka aplikasi instagramnya dan menemukan bahwa seseorang yang ia duga Lay menandai dirinya dalam sebuah foto. Ia membelalakkan matanya selebar-lebarnya sambil menutup mulutnya tak percaya. Foto yang barusan Lay post adalah fotonya dengan Qian yang sedang tertidur di pangkuannya di taman tadi. Ia tidak tahu kapan Lay mengambil foto ini. Yang membuat ia semakin terkejut adalah ketika ia melihat caption yang menyertai foto tersebut, ‘Thank you for being there when I need you the most.’.

Seulra makin terkejut ketika mengetahui bahwa semua notifikasi di hapenya mengacu pada foto ini. Semua komentar dan DM yang semuanya menanyakan apakah ia dan Lay jadian. Ia membaca semuanya, ada yang kaget, ada yang menyelamati, dan ada juga yang tidak suka. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, apakah ini semua nyata? Atau ia sebenarnya sudah tertidur dan ini hanya mimpi?

Ia masih membaca semua komentar ketika ia tak sangaja menyentuh icon like pada foto tersebut. Seulra menepok jidatnya kuat-kuat. DUH KEPENCET KAN MAMPUS GUA KETAUAN NGE-STALK.

Seulra masih meratapi nasibnya ketika hapenya kembali berdering. Ia kembali menepok jidatnya kuat-kuat ketika melihat kontak Lay yang muncul di hapenya. Ia berpikir sebentar apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah membuat keputusan, ia pun mengangkat telepon dari Lay dengan hati-hati.

“Ha–halo?”

Entah kenapa tokoh di FF ini jadi ketularan gagapnya Neulmi semua *Neulmi dateng bawa golok*.

“Belom tidur?

Seulra jingkrak-jingkrak sebentar di kasurnya. “Be–belom.”

“Udah liat fotonya?

“Udah.”

“Gimana?”

Seulra mengerutkan keningnya. “Apanya yang gimana?”

Seulra bisa mendengar suara tawa Lay di seberang sana.

“Yang ada tuh notif gua penuh isinya nanyain apa gua jadian sama lu semua.”

Lay menghentikan tawanya. “Ya udah tinggal lu jawab.”

Seulra melotot. “Apanya yang mau dijawab? Lagian gua bisa jawab apa?”

Lay terdiam sejenak. “Kamu bisa jawab iya.”

Seulra ambyar. Banget.

Neulmi sedang ngunyah sukro sambil bengong menatap televisi. Banyak hal yang sedang ia pikirkan. Termasuk kesalahpahaman antara ia dan Taerin. Ia tau hubungannya dan Taerin bisa berubah karena hal ini dan ia tidak ingin hal itu terjadi. Walaupun otak Taerin sangklek, namun Taerin adalah teman yang berharga baginya. Ia tidak ingin kehilangan Taerin.

Ia pun mengambil hapenya yang berada di sofa dan membuka chat room-nya dengan Taerin. Ia pun buru-buru mengirim pesan pada Taerin.

On Line Application

Kim Neulmi : Taerin?

Lee Taerin : Apa?

Kim Neulmi : Ada yang mau gua omongin.

Lee Taerin : Ngomong aja.

Kim Neulmi : Gak bisa di sini, ketemuan di taman komplek yok.

Lee Taerin : Males.

Kim Neulmi : Sebentaaaaaaaar aja.

Lee Taerin : Ya udah.

Setelah Taerin menjawab begitu, Neulmi pun buru-buru mengambil jaketnya dan keluar dari rumah. Ia pun buru-buru berjalan menuju taman komplek, mengingat bahwa rumah Taerin lebih dekat ke taman komplek dibandingkan rumahnya. Ia merasa lega ketika dilihatnya Taerin yang sedang duduk di salah satu kursi taman. Neulmi pun buru-buru menghampiri Taerin.

“U–udah lama?” ujar Neulmi ketika sudah sampai tepat di depan Taerin.

Setelah melihat gelengan dari Taerin, Neulmi pun duduk tepat di sebelah Taerin.

Neulmi berdehem sejenak sebelum melirik Taerin yang ada di samping kanannya. “Tae–Taerin?”

“Apa?” Taerin masih melihat ke depan, menolak menatap Neulmi balik.

Neulmi menundukkan kepalanya. “Gua sa–sama Suho oppa gak a–ada apa-apa.”

Taerun mengalihkan pandangannya ke arah Neulmi. “Lu gak perlu jelasin itu ke gua.”

Neulmi menghela napas berat. “Rin, gua e–emang lemot, ta–tapi gua gak se–selemot itu buat gak sa–sadar kalo lu a–ada apa-apa sa–sama Suho oppa.”

Taerin menatap Neulmi tegas. “Denger ya, gua gak ada apa-apa sama Suho oppa.”

“K–kaalo lu berdua gak a–ada apa-apa, gak mu–mungkin Suho oppa sa–sampe ngi–ngikutin lu di mall, Rin.”

Taerin membelalakkan matanya. “Maksud lu?”

“Lu ta–tau kan gu–gua sama yang la–lain gak setuju lu sa–sama Suga oppa? Ja–jadinya gua sa–sama Nayoung ngi–ngikutin lu sa–sama Suga oppa. Ternyata gu–gua sama Nayoung ke–ketemu sama Suho oppa yang la–lagi ngikutin lu ju–juga.”

“Tapi gua gak liat Nayoung?”

“Nayoung pu–pulang duluan ka–karena mau kon–kondangan.”

“Dan lu semesra itu sama Suho oppa?”

“Dia cu–cuma ngambilin na–nasi di ram–rambut gua, Rin.”

Taerin mengerjapkan matanya beberapa kali, tidak mempercayai apa yang ia dengar. Ia bingung harus bereaksi apa. Terlalu banyak hal yang berkecamuk di kepalanya.

“Gua mau balik dulu, udah malem.” Taerin berdiri dari duduknya.

Neulmi buru-buru menahan lengan Taerin. “Ta–tapi lu ma–maafin gua kan, Rin?”

Taerin melirik Neulmi. “Gak ada yang perlu dimaafin, lu gak salah.”

Taerin melepas tangan Neulmi pelan sebelum tersenyum pada Neulmi. Ia pun berjalan menuju rumahnya, meninggalkan Neulmi dengan perasaan lega setelah mereka menyelesaikan masalah mereka. Sepanjang jalan Taerin memikirkan banyak hal, salah satunya Suho. Ia tidak sadar kalau Suho mengikutinya. Ia mencoba memikirkan berbagai alasan bagi Suho untuk mengikutinya.

Ia membelalakkan matanya ketika dilihatnya Suho di depan pagar rumahnya. Apa yang ia lakukan di depan rumahnya malam-malam begini?

Taerin terdiam ketika Suho menyadari keberadaannya. Ia tidak bisa bergerak ketika dilihatnya Suho yang sedang berjalan ke arahnya.

“Abis dari mana?” ujar Suho ketika sudah sampai tepat di depan Taerin.

Taerin mengerjapkan matanya beberapa kali. “A–anu, dari taman komplek.”

Suho mengangguk-anggukan kepalanya, menolak bertanya lebih jauh.

“Lu tau rumah gua dari mana?”

Suho berdehem sejenak. “Dari Taemin.”

“Terus ngapain ke rumah gua?”

Suho menunduk menatap Taerin. “Gua mau ngomong.”

“Soal?”

“Soal yang di mall tadi–“

Taerin mengangkat sebelah tangannya, menahan Suho untuk melanjutkan perkataannya. “Gua udah tau, lu gak perlu jelasin.”

Suho masih menatap Taerin. “Jangan deket-deket sama Suga.”

Taerin sibuk menahan detak jantungnya agar tidak terdengar oleh Suho. “Ke–kenapa?”

He doesn’t deserve you. Lu cuma dijadiin bahan taruhan dia sama anak kelas doang.”

Taerin mengerjapkan matanya tidak percaya. Ia kecewa. Bukan tanpa alasan Suga gencar mendekatinya,segala sikap manis yang suga tunjukkan padanya. Harusnya ia sadar dari awal.

“Maafin gua.” Ujar Suho lirih.

Taerin melirik Suho sekilas. “Maaf buat apa? Ini bukan salah lu.”

“Maaf karena gua gak bisa ngelindungin lu jadi bahan taruhannya Suga.” Suho menatap Taerin dengan tatapan bersalah.

Taerin terdiam menatap Suho, menunggu Suho melanjutkan perkataannya.

“Maaf karena baru ngasih tau lu.”

Taerin menundukkan kepalanya, bingung harus bereaksi bagaimana. Ia tahu Suho tidak salah. Suho sudah melindunginya dengan sangat baik, dengan mengikutinya di mall misalnya.

“Mulai sekarang gua gak akan lupa.”

Taerin kembali mendongakkan kepalanya menatap Suho ketika Suho kembali bersuara. “Lupa apa?”

“Lupa buat ngelindungin lu.”

Kaki Taerin terasa lemas.

Neulmi sedang menyikat giginya sembari melihat pantulan dirinya di cermin kamar mandinya. Ia sedang bersiap-siap untuk tidur. Neulmi buru-buru mengambil hapenya ketika terdengar dering notifikasi dari sana.

On Line Application

Do Kyungsoo : Kita perlu ngomong.

Neulmi langsung keselek odol. Ia pun langsung kumur-kumur sebelum membalas pesan dari D.O.

Kim Neulmi : Hah?

Do Kyungsoo : Gua tunggu di taman komplek lu.

Neulmi bengong sambil mangap. Merasa tidak ada pilihan lain, ia pun buru-buru menyambar jaketnya. Ia tahu ia tidak akan dibolehkan keluar lagi jam segini. Oleh karena itu ia harus mengendap-endap memasuki kamar orang tuanya untuk mengambil kunci. Untung sama orang tuanya sudah tertidur pulas kamar, beserta Jonghyun yang sudah tergelepar di sofa abis nonton sinetron kesukaannya.

Ketika sudah mendapatkan kuncinya, Neulmi pun membuka pintu dengan perlahan, mencegah pintu menghasilkan suara. Ketika sudah berhasil keluar dari rumah, Neulmi pun kembali mengunci pintu dengan hati-hati.

Ia mendesah ketika harus kembali berjalan ke taman komplek lagi sendirian. Ia memang bukan orang yang berani, ia termasuk penakut akan hal-hal ghaib yang mungkin akan mengganggunya selama perjalanan ke taman. Ia terdiam sejenak ketika melihat D.O yang terduduk di bangku taman sama seperti yang Taerin duduki tadi. Ia pun buru-buru menghampiri D.O dan duduk di sampingnya.

Mata D.O mengikuti pergerakan Neulmi. “Hubungan kita makin rumit akhir-akhir ini.”

Neulmi terkejut ketika D.O mengucapkan kata ‘Hubungan kita’, ia pun balik menatap D.O. “Ma–maksudnya?”

“Ngapain sama Suho di mall?”

Neulmi mengerutkan keningnya. “Gu–gua rasa gu–gua gak perlu nga–ngasih tau lu so–soal itu.”

D.O menghela napas berat sebelum menyenderkan punggungnya di bangku taman. “Sebenernya hubungan kita itu apa sih?”

Neulmi menatap D.O bingung. “Gu–gua gak ngerti.”

D.O mendengus. “Kayaknya cuma gua yang nganggep hubungan ini ya?”

Neulmi makin bingung, ia mulai panik. “Oppa, gua be–beneran gak ngerti.”

D.O memejamkan matanya sejenak. “Lu nembak gua dan gua terima, tapi lu malah gak bales line gua lagi sampe gua liat lu jalan sama Suho.”

Neulmi bengong menatap D.O tidak percaya. Ia tidak menyangka teman-temannya bertindak sejauh ini, mereka tidak bercerita soal tembak menembak ini.

“Gu–gua gak a–ada apa-apa sa–sama Suho oppa.”

“Gak ada apa-apa tapi jalan bareng terus pake pegang-pegang rambut?”

“Gu–gua Cuma ba–bantuin Suho oppa do–doang, dan Suho oppa cu–cuma ngambilin na–nasi di rambut gua.”

D.O membuang pandangannya ke arah lain, menolak mendengar penjelasan Neulmi.

“Sekarang lu maunya gimana?” D.O kembali bersuara.

Neulmi sangat ingin menjelaskan semuanya ke D.O. Tapi entah kenapa, ia senang dengan statusnya saat ini. Perasaannya terbalas, walau harus diwakili oleh tangan jahil teman-temannya.

“Gi–gimana apanya?”

“Mau lanjut jadi pacar gua atau mau udahan?”

Neulmi menganga tidak percaya. Sepertinya penyakit gagapnya akan bertambah parah setelah ini.

EPILOG

Seulra sedang sibuk memasukkan buku-buku pelajaran hari ini ke ranselnya ketika ponselnya berdering. Ia pun buru-buru meraih ponselnya yang ada di atas kasur lalu mengangkat telepon yang ternyata berasal dari Lay.

“Halo?” Seulra kini sibuk membongkar lemarinya untuk mencari pasangan kaus kaki putihnya yang entah ke mana.

“Kamu udah siap?”

“Hah? Euh–iya, udah kok –aduh!” Seulra meringis ketika setumpuk baju jatuh di kepalanya saat ia berusaha mencari kaus kakinya di bawah tumpukan baju tersebut.

Lay mengernyitkan kepalanya di seberang sana. “Kamu lagi ngapain sih?”

Seulra sekuat tenaga menahan ringisannya. “Itu–aku abis kepentok kursi.”

Terdengar suara Lay yang menghela napas di seberang sana, disertai dengan bunyi klakson yang Seulra yakini berasal dari mobil Lay. “Kamu hati-hati dong.”

“Iya iya, kamu lagi di mana sih?”

“Lagi di jalan ke sekolahnya Qian.”

Seulra mengerutkan dahinya lalu melirik ke jam di dindingnya. “Loh? Kamu nganterin Qian dulu?”

“Iya.”

“Kenapa gak jemput aku dulu aja baru nganterin Qian? Kan sekolah kita sama Qian searah.”

“Hm,” Seulra bisa mendengar Lay bergumam sejenak di seberang sana, “karena sekali-sekali aku pengen berduaan sama kamu?”

Seulra sekuat tenaga menahan senyumnya.

Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Nayoung buru-buru memasukkan semua alat tulis yang berserakan di mejanya ke dalam tas. Ia menolehkan kepalanya ketika mendengar ketukan pintu, lalu menemukan Baekhyun yang sedang cengar-cengir ke arahnya di depan pintu. Ia pun mengangkat salah satu tangannya lalu mengucakan kata ‘sebentar’ tanpa suara. Setelah melihat anggukan dari Baekhyun, Nayoung pun kembali membereskan barang-barang yang ada di mejanya.

Setelah selesai dengan urusannya, ia pun buru-buru menghampiri Baekhyun. “Yok.”

“Mau langsung pulang aja?”

Nayoung menganggukkan kepalanya. “Iya, aku udah janji mau nemenin eomma belanja.”

Baekhyun menghela napasnya. “Ya udah deh, yok.”

Baekhyun menarik tas Nayoung lalu menyampirkannya di punggungnya, ia buru-buru berjalan mendahului Nayoung.

Nayoung melotot. “Ih, udah aku bawa sendiri aja!”

Nayoung buru-buru berjalan menyusul Baekhyun. Baekhyun menolehkan kepalanya kea rah Nayoung yang sedang mensejajarkan langkahnya. “Lagian kamu tuh bawa buku banyak banget.”

“Ya udah makanya sini aku aja yang bawa, kamu kan bawa tas kamu juga.”

Baekhyun nyengir. “Aku mah bukunya ditinggal di loker semua, jadinya tas aku enteng.”

Nayoung cemberut. “Ish, bodo amat!”

Baekhyun sekuat tenaga menahan tawanya sambil memasangkan helm ke kepala Nayoung ketika mereka sudah sampai di parkiran motornya. “Udah, jangan bawel.”

Baekhyun menepuk pelan helm di kepala Nayoung sebelum naik ke motor ninjanya. “Gak mau naik?”

Nayoung mencebikkan bibirnya lalu dengan malas naik ke motor Baekhyun. Baekhyun melirik Nayoung sekilas. “Udah? Pegangan.”

“Iya iya bawel.” Nayoung melingkarkan tangannya di pinggang Baekhyun.

Baekhyun pun tersenyum kecil sebelum melajukan motornya ke jalanan.

“Jangan masuk situ!” Taerin meringsut dari kursinya ketika melihat tokoh utama dari film yang mereka tonton sedang berjalan masuk menuju suatu ruangan.

Suho terkekeh geli melihat Taerin sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke layar bioskop.

Taerin berteriak histeris ketika melihat sosok hantu yang muncul di layar bioskop. Ia pun menyembunyikan wajahnya di balik bahu Suho sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke layar bioskop.

“Kan udah gua bilang jangan masuk situ!” Taerin ngedumel sendiri sambil nunjuk-nunjuk layar bioskop.

Suho lagi-lagi hanya terkekeh geli melihat Taerin. “Kamu cerewet banget sih.”

Taerin melirik Suho sekilas sebelum kembali menunjuk-nunjuk layar bioskop emosi. “Ya dia pea banget malah nyari masalah.”

Suho kembali terkekeh sambil memandangi Taerin yang sedang mengerucutkan bibirnya. Taerin yang sadar sedang dipandangi Suho pun melirik Suho sebal. “Apa sih ngeliatin mulu?”

Suho tersenyum geli. “Emang gak boleh?”

“Gak boleh!” Taerin buru-buru meletakkan telapak tangannya di sisi wajahnya, mencoba memblokir pandangan Suho.

Suho pun menarik tangan Nayoung lalu menggenggamnya. Taerin melotot melihat tangannya yang kini ada di genggaman Suho lalu berpaling menatap Suho yang sedang senyam-senyum sambil fokus memperhatikan film. Merasa dipandangi, Suho pun kembali menoleh ke Taerin sebelum mengendikkan dagunya ke arah layar, menggesturkan Taerin agar memperhatikan filmnya.

Taerin merutuk dalam hati. Bagaimana ia bisa memperhatikan filmnya jika detak jantungnya lebih menuntut perhatiannya saat ini?

Neulmi menguap selebar-lebarnya sambil bertumpu tangan. Ini sudah ke sekian kalinya ia menguap semenjak terduduk menemani D.O yang sedang membaca buku di perpustakaan. Selain ngantuk, ia juga bosan. Ia sedang malas membaca saat ini, apalagi membaca buku pelajaran. Andai saja novel di perpustakaan bukan novel-novel jadul, pasti sudah ia baca. Ia melirik D.O yang masih fokus membaca buku sekilas.

“Masih lama?”

D.O hanya mengangguk menjawab pertanyaan Neulmi sekilas tanpa mengalihkan pandangannya dari buku sama sekali. Neulmi mengerucutkan bibirnya, merasa terabaikan.

“Kapan pulang?” Neulmi kembali bersuara, mencoba mengalihkan perhatian D.O padanya.

“Bentar lagi, nanggung.” D.O membalikkan halaman pada buku yang sedang ia baca. Ia sengaja mengundur waktu pulang mereka, agar ia bisa lebih lama bersama dengan Neulmi.

Asek.

Neulmi mencebikkan bibirnya. Buku itu sepertinya jauh lebih menarik dari pada dirinya saat ini.

“Tapi aku ngantuk.” Neulmi masih berusaha mengalihkan perhatian D.O.

“Ya udah tidur.” Ujar D.O tanpa mengalihkan pandangannya pada Neulmi sama sekali.

Neulmi mendecakkan lidahnya sebelum menyandarkan kepalanya di bahu D.O. “Bodo amat, aku mau tidur!”

“Jangan ganggu!” ujar Neulmi sebelum menutup matanya dan berusaha tertidur.

D.O melirik Neulmi yang bersandar di bahunya hati-hati. Ia tersenyum sekilas. Sedikit merasa bersalah karena mengabaikan Neulmi dari tadi dan hanya membiarkannya menunggu. Ia pun meletakkan bukunya di atas meja, memberhentikan kegiatan membacanya.

Ia lebih tertarik untuk memandangi Neulmi yang sedang tidur saat ini.

Eunri terduduk di bangku panjang di pinggir lapangan sembari memperhatikan Chanyeol yang sedang latihan basket. Dikarenakan tim basket sekolah mereka bisa melaju ke semi final, para anggota tim menjadi berlatih lebih giat, termasuk Chanyeol. Bahkan saat ini, yang bukan termasuk jadwal latihan basket, Chanyeol memilih berlatih sendiri di lapangan sepulang sekolah. Masalahnya, aksi main basket Chanyeol di lapangan mengundang mata-mata jelalatan siswi sekolah mereka untuk menonton Chanyeol main. Eunri empet setiap kali melihat siswi-siswi dengan mata berbinar yang memandang Chanyeol penuh nafsu.

Setelah memasukkan bola ke ring untuk terakhir kalinya pada latihannya kali ini, Chanyeol beranjak dari lapangan dan berjalan menuju Eunri. Eunri pun refleks mengambil botol minum beserta handuk yang tergeletak di sampingnya lalu menyodorkannya ke Chanyeol. Chanyeol mengambil handuk dan botol minum di tangan Eunri sambil cengar-cengir lalu meminumnya.

“Kalo kamu latihan terus kayak gini, yang ada entar pas lombanya malah drop karena kecapekan.” Eunri menyilangkan lengannya di depan dada.

Chanyeol menghentikan kegiatan minumnya lalu menatap Eunri. “Iya iya, besok enggak lagi deh.”

Chanyeol tiba-tiba menyodorkan kembali handuk yang ada di tangannya sambil senyam-senyum. “Lapin dong.”

Eunri melotot. “Gak mau! Lap sendiri sana.”

“Ya udah aku minta lapin Namjoo aja deh–“ baru saja Chanyeol ingin beranjak pergi dari sana menuju Namjoo yang juga sedang memperhatikannya dari pinggir lapangan, Eunri buru-buru mengambil handuk yang ada di tangan Chanyeol.

“Gak usah macem-macem.”

Chanyeol pun cuma bisa cengar-cengir ketika Eunri mengelap keringat yang ada di dahinya. Ia pun tak kuasa menahan diri untuk tidak memperhatikan Eunri yang sedang berada pada jarak dekat di depannya. Ia tak kuasa menahan senyumnya yang ingin merekah. Eunri mengerjapkan matanya beberapa kali ketika dirinya menyadari bahwa Chanyeol sedang menatapnya.

Ia pun berdehem sejenak sebelum melemparkan handuk di tangannya ke wajah Chanyeol. “La–lap sendiri aja sana!”

Eunri pun buru-buru berbalik lalu berjalan menjauhi Chanyeol. Ia memegangi wajahnya yang mulai memerah. Chanyeol yang melihat Eunri yang salah tingkah pun hanya bisa terkekeh geli.

Perlahan, ia pun berjalan menyusul Eunri yang sudah berada jauh di depannya.

THE END

 

Author: Saustartar

Toilet mana toilet?

Here We Need Responsibilities. Thanks!