EXO Fanfiction Dorm

EXO as the Main Cast

The Tower: Fate

Leave a comment

thetower

Tittle                | The Tower: Fate

Author             | eezeeba

Length             | Oneshot (2500 words)

Genre               | Romance

Rating              | General

Casts                | Kim Jongin, Wu Xin Liu (OC)

Disclaimer       | this fanfic originally written by eezeeba, no plagiarism in every diction and sentence. Latar cerita inspired by film The Tower, tapi cerita dan alurnya beda banget kok. Happy reading! ^^

Her POV

Kupandangi gemerlap lampu kota Seoul dari balkon apartemenku. Gaun satin yang kukenakan sesekali tertiup angin, menyisakan aku yang hanya bisa mengusap-usap bahuku yang telanjang. Seperti biasa, gaun yang melekat di tubuh, rambut yang ditata dengan semprotan hair spray disana-sini, muka yang diploles sedemikian rupa, perhiasan yang berkilauan di ujung telinga dan sekitar leherku, classic.  Kuhela napasku, mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang akhir-akhir ini kerap singgah tanpa permisi.

“Liu, ayo cepat, pestanya dimulai 10 menit lagi,” suara Baba akhirnya menyadarkanku dari lamunan. Kuangkat tangan dari pembatas balkon, menyingsingkan gaunku,kemudian mengikuti langkah Baba keluar dari kamar.

Pemandangan yang kudapati di luar kamar tak berbeda jauh dari pantulan diriku sendiri di cermin. Wanita-wanitanya bak angsa yang bertahtakan mahkota berlian, sedangkan para lelaki tampak seperti bangsawan dengan tuxedo putih-hitam –  yang pada beberapa orang malah terlihat seperti mengenakan kostum penguin. Ups, pardon me.

Topping Sky Tower Apartment, acara inilah yang menjadi tujuanku dan Baba. Dua hari yang lalu kami resmi membeli penthouse bangunan ini, menjadikan Baba menjadi tamu VIP dalam acara jamuan mewah kali ini. Kubalas senyuman dari orang-orang yang kamu temui di sepanjang koridor hingga di dalam ballroom. Sebuah pohon natal dengan ornament emas dan lampu-lampu kuning terang menyambut kami. Indah, luar biasa indah. Kuapit clutchku sambil terus menggelayut di lengan Baba yang kini telah sibuk berbincang dengan beberapa orang yang tentu saja tak kukenal.

Aku akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri. Kubisiki Baba, meminta ijin untuk berkeliling sendiri. Setelah mendapat anggukan aku buru-buru melenggang meninggalkan keramaian. Hanya mengambil segelas wine kemudian mendekatkan diri pada jendela kaca maha luas yang mempertemukanku dengan langit malam dan keindahan lampu kota. Kusesap isi gelasku pelan-pelan, sesekali mengalihkan pandangan pada beberapa helikopter yang mondar mandiri mengelilingi bangunan ini.

“Selamat malam! Selamat datang bagi…”

Bla bla bla. Ucapan sambutan dari pemilik Sky Tower. Nyonya-nyonya dan tuan kaya kini takzim mendengarkan setiap kata yang keluar dari laki-laki di podium itu. Aku tentu saja masih disini, mengenyahkan ide-ide gila yang merasukiku setiap saat. Mengenggam kaki gelas wineku kuat-kuat. Menghela napas tiap beberapa detik sekali.

“…dan inilah, hadiah kami bagi anda sekalian. Merry Christmas!

Sedetik kemudian helikopter-helikopter tadi menurunkan buliran-buliran salju ke tanah. Menghiasi malam dengan gumpalan-gumpalan putih yang dengan anggun turun ke bumi, menyajikan pemandangan luar biasa indah pada malam kudus ini. White Christmas.

Kusentuh kaca yang membatasiku dengan semesta. Ingin rasanya aku ikut terbang bersama bulir-bulir salju. Ikut membebaskan diri dari kotak yang selama ini mengungkungku. Musik yang mengalun dengan syahdu gagal menentramkan hatiku. Aku hanya ingin bebas. Itu saja.

Lamunanku terganggu suara bising yang amat keras. Aku mendongak, mendapati sebuah helikopter tampak lepas kendali, berputar cepat tanpa kontrol hingga….

“PRAAAANGGGGGG!!!!” ekor helicopter menyapu dinding-dinding kaca dengan cepat. Aku refleks berlari menjauh, menghindari serpihan kaca yang beterbangan. Kurasakan beberapa serpihan tajam mengenai punggungku yang bebas, membuatku berlari semakin membabi buta.

“Baba!!” aku berteriak sekuat tenaga, “babaaaaaa!!!”

“DUAARRRR!”

Lantai yang kupijak bergetar keras. Helikopter yang tadi lepas kontrol menabrak gedung di lantai bawah, menghancurkan dinding-dinding dan meledak kuat. Aku terjerembab, begitu pula dengan ratusan orang lain di ruangan ini. Tanganku menggapai-gapai, mencoba meraih apapun yang bisa kujadikan pegangan. Pening, rasanya luar biasa pening. Kurasakan darah mulai mengalir dari kepalaku yang tadi terbentur, belum lagi rasa perih yang menjalar di punggung dan bahuku.

“Baba…..” untuk terakhir kalinya aku hanya dapat mendesis lirih sebelum akhirnya kegelapan menelanku bulat-bulat.

***

His POV

Aku baru saja mengganti pakaianku saat ledakan terjadi. Guncangan hebat itu menjatuhkanku ke tanah, memaksaku mengaduh karena terantuk loker besi di sebelahku. Teriakan panik terdengar dari seluruh gedung. Aku buru-buru bangkit. Ikut berlari bersama yang lain. Bunga api terlihat di langit-langit. Beberapa orang terlihat berlari dengan darah di kepala dan airmata yang mengalir deras. Untuk sesaat aku terbawa situasi panik, tetapi buru-buru kuambil napas. Mengamati dengan lebih jeli keadaan di sekitarku. Petugas keamanan gedung tampak berusaha mengarahkan massa, berteriak-teriak pada orang-orang yang bersikeras ingin menggunakan lift.

“Jauhi lift, tolong jangan gunakan lift…tuan tolong keluar! Ah nona kumohon jangan gunakan lift…” Leetetuk hyung tampak kewalahan, aku segera berlari mendekatinya, ikut menghalau massa. Mendorong tubuh-tubuh yang dengan bodohnya tetap memaksa untuk masuk ke dalam lift.

“Lift ini bisa terjebak api di lantai bawah! Baik! Silakan gunakan lift jika kalian ingin terpanggang atau merasakan ledakan! Ayo cepat naik!” aku akhirnya berteriak jengkel. Leeteuk hyung memandangku lega. Orang-orang itu melangkah menjauh, beberapa orang menatapku dengan tatapan gusar. Masa bodoh.

“Jongin, bisa tolong aku mengevakuasi tamu-tamu di ballroom? Sejauh ini baru beberapa orang yang bisa keluar, selebihnya terluka atau pingsan, kita tidak akan membiarkan mereka mati begitu saja, bukan?”

Chanyeol menarik tanganku, segera kuikuti langkahnya. Menyeruak di antara lautan manusia yang berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Ballroom tampak kacau balau. Bisa kurasakan hembusan kuat angin malam langsung menerpa wajahku saat kuinjakkan kaki di ambang pintu. Yang tersisa disini hanya tubuh-tubuh penuh goresan luka yang entah masih hidup atau tidak. Aku dan 6 orang petugas keamanan lainnya langsung menyisir lokasi. Memeriksa denyut nadi dari tubuh-tubuh yang tergolek tak berdaya dan buru-buru menggotong keluar mereka yang masih hidup.

“Krekkk! Krekkk!” suara keras itu serta merta menyita perhatian kami. Lantai yang kami pijak kini retak, pertanda ruangan ini akan luluh lantak dalam hitungan menit atau detik.

“Cepat keluar! Keluaarrr!” Suho hyung berteriak lantang, kami segera menghambur menuju pintu keluar. Tak sengaja pandanganku tertumbuk pada sosok berbalut gaun putih yang tergeletak di dekat reruntuhan kaca. Tanpa pikir dua kali aku segera membalik arah, berlari sekuat tenaga ke arahnya. Kusentuh lehernya, mendapatkan tanda kehidupan lewat nadinya yang masih berdenyut. Kubopong gadis yang berlumur darah itu dalam tanganku, lagi-lagi berusaha lari sekencangnya ke arah Suho hyung yang telah panik melambai-lambaikan tangannya padaku.

Bisa kurasakan bangunan yang mulai runtuh di belakangku, membuat kedua kakiku berlari semakin cepat. Gadis di dekapanku tampak tak terganggu, matanya masih terpejam rapat, dapat kurasakan darahnya yang menetes di tanganku. Oh, shit! Tidak ada orang yang boleh mati di depan mataku. Tidak seperti ini, aku harus menyelamatkannya.

Di luar ballroom orang-orang masih mondar-mandir kebingungan. Segera kuturunkan gadis itu, mencoba membangunkannya.

“Agassi! Agassi!” kucoba memanggilnya, kuguncangkan pula tubuhnya. Namun sama saja, tetap tidak ada reaksi.

“Agassi ayolah…” aku hampir putus asa saat kulihat matanya terbuka perlahan. Ia mengerjapkan matanya pelan. Kuusap darah di keningnya dengan sapu tangan yang kubawa. Lama kelamaan mulai tampak wajah asli pemilik tubuh di hadapanku itu. Astaga. Gadis ini cantik sekali.

“Nu…nuguseyo?” lirih sekali ia membuka suaranya. Kulanjutkan membersihkan sekaligus menahan laju darah di lukanya.

“Tenang, Agassi. Aku hanya berusaha menolongmu…”

“Baba…” lagi-lagi ia meracau lirih. Aku mengernyitkan kening. Baik, aku mengerti, gadis ini sebenarnya orang Cina. Kali ini ia bangkit, mengangkat tubuhnya dari tanganku yang sedari tadi kujadikan bantalannya. Ia menatapku sayu, diraihnya lenganku, meremasnya kuat-kuat.

“Tuan, tolong selamatkan babaku, tuan…tolong aku,” mohonnya tiba-tiba, aku mengerutkan kening.

“Kau tadi kutemukan tergeletak sendirian saat ruangan sudah sepi, baba-mu pasti sudah dievakuasi, nona,” jawabku sekenanya. Ia terlihat menimbang ucapanku, kemudian beringsut, menyandarkan bahunya yang terluka di dinding. Matanya menerawang, aku pun terjebak dalam kebisuan. Tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan.

“Terimakasih sudah menolongku, Tuan,” katanya lembut. Aku menelan ludah.

“Sama-sama. Sudah kewajibanku, Nona,” balasku. Ia mengerjapkan matanya yang kuyu. Tampak setengah tak sadar. Sedetik kemudian ia mencoba bangkit, meluruskan kakinya, berusaha berdiri. Kupegangi lengannya, membantunya tegak, tapi itu tak lama….

“DUARRRR!” ledakan itu lagi-lagi membuat kami limbung. Inilah yang kubenci dari kebakaran, api akan mampu meledakkan apa saja.

Tanpa pikir panjang kutarik gadis itu, kurengkuh pundaknya, mengajaknya berlari secepat yang kami bisa. Cepat atau lambat lantai ini akan dilalap api. Kami harus segera mencapai tangga darurat. Ia tampak tergopoh mengikuti derap kakiku. Semakin kueratku cengkeraman tanganku di bahunya. Baik, aku memang terpesona pada kecantikannya, tapi tujuanku saat ini tak lain hanya untuk menyelamatkan kami berdua.

Langkah kami terhenti setelah menuruni beberapa tingkat lewat tangga darurat. Lantai di bawah kami luluh lantak. Bangkai helikopter dengan pilotnya tampak masih berasap di kejauhan. Seluruh listrik di lantai ini padam. Api kecil-kecil masih terlihat di beberapa titik. Kakiku terasa lemas. Bukan hanya karena terlalu banyak berlari, tapi tak mengerti lagi harus kemana dan bagaimana. Gadis di sampingku melorot, kelelahan, pasti. Darah di kepalanya masih saja mengalir. Kusesejarkan mata kami, kupandangi wajah putus asanya, sekali lagi menyeka aliran cairan merah yang menghiasi wajahnya.

“Kita akan selamat, Nona, percayalah,” kataku menguatkannya – atau mungkin untuk menguatkan diriku sendiri. Ia tersenyum tipis, seolah mengatakan terimakasih.

Hening. Tak bisa lagi kami dengar suara jeritan atau teriakan. Hanya harapanku yang masih menyala. Berharap petugas pemadam kebakaran akan sampai kepada kami, mengeluarkan kami dari sini. Hanya itu.

“Siapa namamu, Tuan?” gadis itu menoleh kepadaku, mencoba memecah keheningan.

“Jongin. Kim Jongin, Nona,” jawabku, berusaha terdengar seramah dan semanis mungkin. Oh ayolah, Jongin. Setelah ini kau bisa saja mati, dan kau masih mencoba untuk membuat dirimu tampak memesona di hadapan wanita asing yang kauselamatkan? Bodoh.

“Aku Liu,” ia membalas, menyebutkan namanya, masih memandangku dengan senyum tipis yang tercetak di wajahnya, “Wu Xin Liu.”

Lagi-lagi kami terdiam. Suara percikan api sesekali terdengar, membuat kakiku refleks menendang udara, bersiap bangkit, tetapi sedetik kemudian kembali terduduk, menghela napas. Mungkin aku sudah terkena tanda-tanda trauma.

“Kau bekerja disini, Tuan Kim?” ia bertanya lagi. Aku mengangguk pelan, tersenyum.

“Jongin, panggil saja aku Jongin, Nona Liu. Iya, aku bekerja disini, seorang koki,” jawabku. Ia melebarkan matanya.

“Kau koki?” ia merespon cepat, “kukira kau petugas keamanan atau semacamnya. Omong-omong, Liu saja, Jong-jjong….in.”

Keraguannya menyebut namaku mau tak mau membuatku tertawa kecil. Ia ikut tertawa. Untuk sejenak kami lupa akan kemungkinan tertimpa reruntuhan bangunan atau dilalap api dalam sebuah ledakan.

“Apa kita akan selamat?” kali ini pertanyaannya memaksaku menautkan kening.

“Percayalah, Liu. Kita akan selamat,” kataku sungguh-sungguh, “mereka pasti akan menemukan dan menyelamatkan kita.”

“Kau tahu, Jongin…sebelumnya, saat menghadiri acara topping tadi, aku sebenarnya berniat bunuh diri….” Cerita Liu menyentakkan sesuatu dalam dadaku. Aku tidak salah dengar?

“Hah? Kenapa?”

“Aku muak dengan hidupku. Beberapa kali aku menimbang-nimbang untuk meminum racun, memotong urat nadi, atau terjun dari kamar apartemenku. Kautahu, jatuh dari ketinggian 73 lantai akan meremukkanku, kan?” ia tertawa di sela-sela kalimatnya, tapi tidak denganku. Kupandangi lekat-lekat wajahnya, mencari tanda-tanda kalau gadis ini sedang bercanda. Namun aku tak menemukan apa-apa, gadis ini sungguh-sungguh. Kusandarkan lagi pundakku ke reruntuhan tembok di belakang, memejamkan mata. Aku tidak mau membayangkan terjadi sesuatu yang buruk pada Liu.

Suara derap kaki melunturkan niat Liu untuk melanjutkan kisahnya. Aku buru-buru berdiri, meneriakkan kata tolong sambil membantu Liu bangkit. Suara itu kian mendekat, hingga tampak 3 orang berseragam pemadam kebakaran yang menghampiri kami. Tak sengaja kupeluk Liu, mencium puncak kepala gadis itu karena kelegaan yang membuncah luar biasa. Namun ciuman kilat itu membuatku berdehem kikuk setelahnya, sedangkan Liu hanya menunduk, terdiam memikirkan entah apa.

“Kalian baik-baik saja?” seorang pemadam menyodorkan sengkup oksigen pada kami. Aku buru-buru menerimanya. Menghirup udara bersih sebanyak-banyaknya setelah berjam-jam menyesaki paru-paruku dengan kepulan asap.

Tiga petugas pemadam kebakaran itu kemudian meminta kami untuk mengikuti mereka. Malang, jalan-jalan telah buntu. Kerusakan telah terjadi di hampir 30 lantai. Kami memutar otak, mencari cara agar bisa menemukan jalan keluar.

“Mungkin kita bisa menggunakan lift?” kataku tiba-tiba. Semua mata kini terarah padaku, menatapku dengan bingung dan sangsi.

“Dengar, kita perlu turun sekitar 63 lantai untuk menghindari kebakaran yang mungkin masih terjadi di beberapa lantai. Satu lagi, kita harus benar-benar bisa berhenti di lantai satu atau dua. Kesempatan terbaik kita adalah memaksa lift untuk mencapai kecepatan maksimum – untuk menghindari kemungkinan kita terpanggang dalam lift. Satu lagi, yang kutahu, di setiap tingkat terdapat konstruksi penahan lift. Dengan kecepatan yang tepat dan jika konstruksi itu belum hancur, kita akan mampu turun dengan selamat. Bagaimana?”

Ketiga pemadam itu memandang satu sama lain. Ideku tidak seburuk itu. Ini benar-benar kesempatan kami satu-satunya. Kupandangi Liu yang dengan gugup menumbukkan matanya padaku. Mengangguk ke arahnya, mencoba meyakinkannya bahwa semua ini akan berhasil.

Akhirnya dengan bantuan alat yang dibawa para petugas, kami berhasil membuka paksa pintu lift. Untuk sesaat kami hanya memandang nanar ruang kosong itu. Menimbang apakah benar lift itu takkan menjadi peti mati kami berlima. Kugenggam tangan Liu yang berdiri disampingku, bersumpah bahwa akan membawanya keluar dari semua ini dengan selamat.

Kulangkahkan kaki untuk memijak lantai lift perlahan, begitu pula Liu dan tiga orang lainnya. Dalam situasi ini aku berharap Tuhan benar-benar ada dan akan menyelamatkan kami semua. Kutekan tombol lift agar menutup, kemudian memencet angka 1. Sungguh-sungguh aku harap kami akan mampu berhenti – bukannya menerobos bumi dan terkubur di bawah gedung, atau kemungkinan buruk lain – stuck di lantai dimana kebakaran masih terjadi, dan terpanggang hidup-hidup hingga kami gosong atau meledak.

Tiiit!

Lift langsung turun ke bawah dengan kecepatan yang tidak biasa. Satu tanganku mencengkeram erat-erat pegangan pada dinding-dinding lift, sedangkan tangan satunya menggenggam tangan Liu yang memejamkan matanya.

Drrt. Srrrrt. Drrrrt.

Indikator di atas kami baru menunjukkan angka 34 dan lift berhenti mendadak. Kami memandang satu sama lain. Mulai merasakan hawa panas yang menakutkan.

“Semuanya lompat! Lompat sekuat tenaga kalian! Lompat!” instruksiku sambil menjejak lift agar kembali melaju turun. Semenit. Dua menit. Lift belum juga bergerak. Sol sepatuku mulai meleleh karena panasnya lantai lift yang terjebak pada lantai terbakar. Demi melihat Liu yang semakin kelelahan, kukerahkan seluruh tenagaku, lagi-lagi mencoba berdoa pada siapapun di Atas sana yang mampu menolong kami.

Detik berikutnya kami sudah kembali melaju ke bawah. Indikator di atas berganti dengan cepatnya, menunjukkan bahwa lift ini ‘jatuh’ dengan kecepatan yang harus kami waspadai. Namun kali ini semuanya perkara nasib. Kami telah memutuskan lift dengan kabel-kabel penahannya, satu-satunya harapan kami adalah konstruksi penahan mampu memperlambat gerakan lift ini.

Lantai 5. 4. 3. 2.

TING!

Lift berhenti tepat di angka dua. Kami menghela napas lega. Sekarang kami hanya perlu buru-buru membuka pintu agar tidak terbawa lift ini jatuh menghantam dasar bumi.

Tiga pemadam itu berusaha membuka pintu lift agar cukup kami lewati. Namun tiba-tiba lift kembali bergerak, membuat indikator di atas tak henti menampilkan angka 1 dan 2 yang silih berganti. Tanda kami terjebak di tengah-tengah. Petugas itu berusaha makin keras untuk membuka pintu lift, aku lagi-lagi menatap Liu yang juga sedang mengamati wajahku. Oh Tuhan, sungguh aku ingin memeluk gadis ini dan mengatakan kami pasti akan berhasil.

Pintu akhirnya dapat terbuka, cepat-cepat petugas itu merangkak ke atas, kemudian mengulurkan tangan untuk membantu kami naik. Aku buru-buru menerima uluran tangan itu, berniat akan menarik Liu dengan tanganku sendiri setelah aku sampai di atas. Namun saat kuulurkan tanganku, Liu hanya memandangku sambil tersenyum. Airmata sudah menggumpal di pelupuk matanya. Aku terperangah. Baru teringat satu kalimat yang tadi diucapkan gadis itu saat kami menunggu bantuan…

Kau tahu, Jongin…sebelumnya, saat menghadiri acara topping tadi, aku sebenarnya berniat bunuh diri….

“ANDWAEEEE! Liu, andwae. Jangan berpikir bodoh. Liu, cepat pegang tanganku, cepat!” dengan panik kucoba meraihnya. Namun tak bisa, gadis itu tak bergerak. Ia tak mendekatiku, seolah menyatakan bahwa ia ingin terkubur bersama lift ini.

“Terimakasih, Kim Jongin. Terimakasih banyak. Sungguh, aku berhutang padamu….” Liu tersenyum manis, aku masih berteriak-teriak dan mencoba meraihnya hingga ketiga petugas itu kewalahan menahanku.

“ANDWAE! Xin Liu andwaeeee!” teriakanku pecah menjadi tangisan saat akhirnya lift itu benar-benar jatuh. Kembali melaju ke bawah. Menyisakan bunyi gedebum keras. Aku masih meronta saat ketiga petugas mencoba menarikku menjauh dari ruang kosong tempat perginya Liu.

“Andwae….andwae….” aku hanya bisa berucap lirih saat kurasa semua tenagaku terkuras habis. Dalam bayanganku wajah cantik gadis itu masih tergambar jelas. Saat-saat kucium puncak kepalanya. Semua itu. Damn. Xin Liu…

END

How is it? geje ya? yasudahlah ya. anggap aja hiburan. dan anyway, Merry Christmas! \o/

 

Author: eezeeba

An overthinker. Crazily in love with potato chips. Loving Daughtry and Maroon 5 to death. Currently in delusional relationship with Oh Sehun and T.O.P.

Here We Need Responsibilities. Thanks!